..Ibadah qurban itu berarti perlu disiapkan dengan beternak yg baik !

Jumat, 12 Desember 2014

Kearifan lokal penanganan hama secara tradisional di Gowa Sulawesi Selatan

Pengetahuan Petani Desa Tassese Tentang Penanganaan Hama Secara Tradisional

Tassese, 19 April 2010


Desa Tassese terletak di salah satu bukit kabupaten Gowa, kecamatan Manuju. Hamparan sawah, gunung, hutan dan sungai akan ditemui di desa ini, udara segar (bebas polusi) dan lingkungan yang bersahabat akan menjadi jaminan ketika berkunjung ke desa ini. Jarak tempuh desa ini dari kota Makassar menghabiskan waktu selama dua jam perjalanan dengan mengendarai mobil. Desa Tassese memiliki luas wilayah 9,7 Km2 dengan luas lahan pertanian (sawah) 267 Ha. Jumlah penduduk desa Tassese 1.767 jiwa terdiri atas 481 kepala keluarga. 99,7% penduduk Tassese adalah petani dan 0,3% sisanya berpropesi sebagai Pegawai Negri Sipil (PNS). Petani Tassese masing-masing memiliki lahan sendiri, namun tidak memiliki luas lahan yang sama, dalam satu kepala keluarga memiliki luas lahan minimal ½ Ha. 

Jissa (ibu angkat saya) seorang petani Tassese merupakan perempuan pekerja keras. Seorang ibu sekaligus ayah bagi kedua putranya (Rahmat dan Ramli). Suaminya (Maharuddin) meninggal 10 tahun yang lalu pada saat Rahmat berusia 5 tahun dan Ramli berusia 7 bulan. Sepeninggal suaminya, Jissa harus menghidupi kedua putranya dengan bertani, mengusahakan atau mengerjakan sendiri sawahnya seluas 1 ½ Ha. Untuk menyelesaikan pekerjaan yang berat(membajak sawah, panen, dan mengangkat hasil panen dari sawah ke rumah) Jissa tertolong oleh semangat gotong royong yang dimiliki oleh warga. Dari masa penanaman sampai panen selama 4 bulan Jissa tiap harinya berangkat ke sawah dengan melewati perjalanan ± 2 Km. 

Rutinitas ini harus dijalani Jissa untuk menjaga padinya dari hama penyerang. Kera atau Dare’ (Bahasa Makassar) menganggu tanaman padi pada pagi hari sampai pada sore hari jika tidak dijaga pemiliknya. Kondisi perekonomian penduduk Tassese’ sebagian besar masih memprihatinkan, hasil yang mereka peroleh dari pertanian kadang tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dengan kondisi seperti ini Jissa harus mengurangi pengeluaran untuk menjaga kelangsungan hidupnya bersama kedua putranya. Untungnya Rahmat dan Ramli memperoleh pendidikan gratis di desa ini yang merupakan program pemerintah untuk menyelamatkan anak bangsa.

Pertanian ini adalah pekerjaan yang paling utama di desa ini sekaligus menjadi sumber kehidupan dan perekonomian penduduk dari zaman dahulu (nenek moyang) untuk menjaga kelangsungan hidup mereka. Hama penganggu tanaman padi, ditangani secara tradisional dengan menggunakan tangkai kayu yang diyakini dapat menangkal hama penganggu tanaman padi. Hama penganggu tanaman padi yaitu kera (dare’) babi hutan (bawi), tikus (balao), ulat daun (cambulu-bulu), ulat batang (lipang) dan sejenisnya. 

Cara tradisional untuk menangani hama dilakukan karena yakin dapat membantu dan setelah menggunakannya ternyata berhasil maka warga tetap menggunakan itu kemudian mengajarkannya kepada keturunan mereka. Cara tradisional menangani hama padi pada umumnya dikuasai oleh perempuan karena merekalah yang merawat tanaman padi setelah penanaman sampai panen. Setiap hama pengganggu tanaman padi cara penanganan tradisional berbeda-beda. Berikut ini gambaran atau penjelasan cara penanganan tiap-tiap hama.

a.      Kera (Dare’)
Kera atau dare’ menganggu tanaman padi mulai dari masa penanaman sampai pada padi siap di panen. Padi yang baru di anam akan dicabut atau diijak-injakdare' jika tidak dijaga pemiliknya, ketika padi sudah berbuah dare' ini mulai mengganggu lagi dengan mencabut dan memakan buah padi. Selain dijaga, cara lain yang digunakan oleh para petani untuk menjaga tanaman padi dari gangguan hama dare' adalah melakukan gotong royong untuk memassal(memburu) dare' dengan menggunakan tombak dan anjing. 
Ada juga cara lain yang diguankan tanpa dijaga atau dimassal yaitu membuat jebakan yang terbuat dari kayu yang menyerupai kandang dengan menaruh umpan yang sangat digemari  dare' yaitu pisang, jebakan tersebut hanya bertahan atau penggunaanya hanya beberapa tahun saja dan dare' pun tahu dan tidak bisa dijebak lagi, namun para petani tidak kehabisan akal setelah mengetahui bahwa ada racun yang bisa mematikan dare' tanpa dijebak atau dimassal dengan menggunakan pisang lalu memasukkan racun kedalamnya. Cara ini hanya bertahan sekitar tahun 90-an karena sudah banyak ternak, pisang yang menggunakan racun tidak hanya dare' yang memakannya tetap juga ternak penduduk. Namun cara lain seperti menjaga padi dan memburu secara massal masih bertahan sampai sekarang.

b.      Babi Hutan (bawi)
Babi hutan atau bawi (Bahasa Makassar) menganggu tanaman padi penduduk setelah padi berbuah dan mulai berisi. Babi merusak padi dan memakan buahnya, yang dapat menimbulkan kerugian besar ketika tidak ditangani. 
Ada beberapa cara tradisional yang digunakan untuk menangani hama babi :
1.  Menggunakan bessi-bessikang, dengan memasang bessi-bessikang pada pematang sawah maka hama babi mulai takut untuk mendekati, namun jika babi sudah biasa mendapat perlakuan seperti itu babi tersebut tidak takut lagi (masih di gunakan sampai sekarang).
2.   Penggunaan ulambi’, dengan menggunakan ulambi’ yang digantungkan pada pematang sawah yang digantungi baju bekas, plastik, atau karung yang diolesi sabun atau oli dapat membantu petani untuk menjaga padi dari gangguan hama padi, bauh yang menyengat (sabun atau oli) serta gerakan kain, plastik yang digantung dapat menakuti babi untuk mendekat (masih digunakan).
3.   Gerseng longga (kallambau’), gerseng longga (kallambau’) dibakar sampai mengeluarkan bau yang menyengat kemudian digantungkan atau diletakkan pada sudut-sudut sawah agar babi hutan tidak mendekat karena bau yang dihasilkan oleh gerseng longga bakar. Penggunaan gerseng longga ini hanya bertahan selama dua hari kemudian diganti lagi (masih digunakan sekarang).
4.      Penggunaan tangkai kayu yang dianggap dan dipercayai dapat membantu menjaga tanaman padi dari serangan hama  babi. Jenis kayunya yakni :
*    Pakupalili dan seta, dipercayai dapat mengalihkan babi ke tempat lain dan tidak menuju ke tanaman padi milik petani yang menggunakannya.
*   Mali-mali’, dipercayai dengan menggunakan mali-mali’ babi hutan akan memiliki rasa sayang pada tanaman padi sehingga tidak merusak tanaman padi tersebut.
*     Leko' Inruk (daun aren) , dipercayai dapat mengalihkan babi ke tempat lain karena daun inruk muda dapat memancarkan atau silau ketika mata babi tertuju pada daun tersebut. Penggunaanpakupalilimali-maliseta dan leko' inruk digunakan dengan cara menancapkan pada bagian yang  telah dimakan atau dirusak  oleh babi hutan agar tidak dirusak ulang. Penggunaan ini tidak dilakukan sebelum babi merusak padi dan hanya berlaku pada tanaman padi tidak pada tanaman lain seperti palawija  dan tanaman perkebunan lainnya. Penggunaan cara tradisional ini masih digunakan sampai sekarang.
5.     Dimassal, cara penanganan hama babi ini dilakukan secra bergotong royong dengan melibatkan banyak warga serta menggunaka tombak dan anjing untuk membantu  memburu dan menangkap hama babi. Cara ini masih digunakan sampai sekarang.
6.     Memasang racun pada umpan (talas,ubi, pisang dll ), cara ini digunakan untuk mematikan babi, namun cara yang digunakan ini tidak berlangsung karena banyak ternak yang juga memakan umpan. Cara ini hanya bertahan samapi padatahun 90-an.
7.     Memasang jebakan, para petani memasang jebakan dengan cara memasang tali pada jalan  yang biasa dilalui oleh babi berupa tali yang bias menangkap babi pada saat tali tersebut terinjak. Selain itu jebakan yang bisa digunakan  yaitu membuat lubang kemudian memasang bamboo runcing pada lubang tersebut sehingga pada saat babi jatuh ke dalam maka akan tertusuk  oleh bamboo terebut (sudah tidak digunakan lagi)

c.       Hama Tikus (Balao)
Hama tikus merusak tanaman padi pada usia muda dan memakan buahnya setelah berbuah. Cara petani mengatasi hama ini dengan menggunakan jebakan untuk menangkap tikus yang terbuat dari  kayu yang menyerupai kayu namun cara ini tidak berlangsung lama digunakan karena dianggap tidak episien dan beralih keracun tikus, racun tikus tidak terlalu berbahaya pada ternak penduduk (sapi, kuda dan kerbau). Sampai sekarang ini cara yang digunakan adalah menggunakan racun dengan menggunakan umpan beras yang dicampur racu tikus atau kepiting kecil yang dimatikan kemudian menaruh racun tikus pada kepiting tersebut.
d.      Hama lainnya ( ulat, ulat batang, walang sangit dan semut merah ).
Cara tradisional yang digunakan petani untuk menangani hama padi tersebut dengan menggunakan leko' tattang olo’. Jenis hama padi ini menganggu tanaman padi pada  pertumbuhan sampai padi mulai berbuah. leko' tattang olo’dipercayai dapat mengusir hama jenis ini secara perlahan-lahan dan akhirnya menghilang pada tanaman padi. Cara tradisional ini masih digunakan sampai sekarang. Selain mempertahankan dan menerapkan pengetahuan yang diwariskan oleh nenek moyang juga untuk mengurangi biaya yang digunakan untuk merawat tanaman padi.

Cara-cara tradisional seperti penanganan hama kera dan babi  yang tidak mematikan ternak, masih tetap dipertahankan dan digunkan sampai sekarang  begitupun pada penanganan kelompok hama lainnya namun tidak semua penduduk atau petani tassese’ menggunkannya karena beberapa daerah (sawah petani) tidak diganggu oleh hama babi atau kera karena jauh dari hutan akan tetapi daerah (sawah) petani yang ada di dekat hutan masih menggunakan cara tersebut. Karena kurang atau tidak diserang oleh hama babi dan kera maka banyak penduduk yang tidak memperhatikan lagi serta tidak tahu cara penanganan hama traisional tersebut.

Selain itu dengan adanya penyuluhan pertanian serta pengetahuan para petani tentang penanganan hama praktis (penggunaan pestisida) masyarakat lebih cenderung  menggunakan pestisida untuk memberantas hama tetapi petani yang tidak memiliki uang yang cukup membeli pestisida masih tetap menggunakan cara tradisional. Informasi dari hasil penelitian saya ini saya peroleh dari ibu angkat saya (Jissa) seorang petani (35 tahun), Abbas Situru (37 tahun) Sekdes Tassese’, Dg. Sonrong (45 tahun) petani, Karaeng Tutu (60 tahun), Rahmad (Siswa SLTP), Indar Sallang (35 tahun ) petani Tassese’, dan Dg. Juma’(50 tahun) petani Tassese’.

-Yosep Rantesalu-

Sumber : http://pilartassese.blogspot.com/2012/03/pengetahuan-petani-desa-tassese-tentang.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar