..Ibadah qurban itu berarti perlu disiapkan dengan beternak yg baik !

Rabu, 16 November 2011

Petani Menjadi Sejahtera dengan Padi Organik Metode SRI

Petani Bebas Utang


Kiprah anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik, Kabupaten Tasikmalaya, seakan mengajak kita melihat wajah ideal petani Indonesia. Kabar petani Indonesia memiliki lahan subur, panen melimpah, dan hidup sejahtera, kini bukan sekadar isapan jempol.


Asep Sulaeman (43), petani Cibodas Pintu, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, adalah salah satunya. Dari sawah seluas 0,25 hektar, ia bisa membangun rumah senilai Rp 70 juta, membeli 2 unit motor yang harganya Rp 14 juta per unit, dan tabungan lebih dari Rp 20 juta.


”Semuanya saya dapatkan dari hasil bertani. Siapa bilang petani Indonesia tidak bisa hidup sejahtera,” katanya.

Kuncinya adalah penanaman padi organik menggunakan metode system of rice intensification (SRI). Padi organik metode SRI adalah upaya peningkatan produktivitas padi dengan tetap menjaga kesuburan lingkungan. Cara ini diklaim lebih murah dan mendapatkan hasil akhir jauh lebih banyak dari lahan sawah konvensional.

”Perbedaan yang paling mudah dilihat antara organik dan konvensional adalah penggunaan pupuk. Petani organik pantang menggunakan pupuk kimia,” kata Asep.

Tengok juga kiprah Hendra Kribo (50), petani Cidahu, Desa Mekarwangi, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya. Sejak bertani padi secara organik tahun 2003, sehektar lahan memberikan empat motor, tabungan lebih dari Rp 30 juta, televisi layar datar 30 inci, serta satu unit rumah beserta isinya bernilai puluhan juta rupiah. ”Yang paling penting, kami adalah petani bebas segala macam jenis utang,” katanya.

Metode SRI dikembangkan pertama kali oleh Frater Henri de Laulanie SJ di Madagaskar tahun 1983 dan Norman Uphoff dari Cornell International Institution for Food, Agriculture, and Development. Pengembangan awal di Madagaskar ternyata sangat memuaskan. Diterapkan di lahan tidak subur, metode SRI bisa mendapatkan hasil panen 10-20 ton per hektar. Di Indonesia, pengembangan SRI mulai dilakukan tahun 1987. Indonesia adalah negara pertama di luar Madagaskar yang menjadi tempat pengembangan padi SRI.

Hendra mengatakan, ada tiga prinsip utama dalam metode SRI. Pertama, penanganan bibit padi metode SRI menggunakan bibit muda atau kurang dari 10 hari setelah penyemaian. Bibit muda memberikan potensi anakan lebih tinggi. Selain itu, penting melakukan tanam dangkal satu bibit per titik tanaman. Penanaman dangkal bertujuan memacu proses pertumbuhan dan asimilasi nutrisi akar muda. Bila ditanam terlalu dalam, padi akan kekurangan oksigen dan mengalami keracunan. Penanaman satu bibit per tanaman guna memberikan ruang tumbuh kembang padi.

Kedua, penyiapan lahan. Dalam metode SRI tak merendam lahan dengan air. Genangan air justru membunuh mikroorganisme penyubur tanaman. Air hanya diperlukan guna membuat lahan tetap lembab dan basah karena padi bukan tanaman air, tapi membutuhkan banyak air.

Ketiga, menggunakan kompos, mikro organisme lokal dan pengusir hama alami organik. Kompos dan mikro organisme lokal memiliki peran besar menyuburkan tanah. Pemahaman ini sangat penting karena bisa menjaga kesuburan tanah sebelum mengharapkan padi tumbuh dengan baik. Bila lahan subur, maka padi tumbuh dengan baik. Pengusir hama dibuat dari bahan sayur atau buah.

Jika ketiga prinsip ini dilakukan akan terlihat jelas murahnya penanaman padi organik. Lahan organik hanya membutuhkan 5-7 kilogram benih per hektar per masa tanam atau sekitar 3 bulan. Pemilihan waktu menanam benih usia kurang dari 10 hari membuat padi mudah berkembang biak.

Dengan harga bibit Rp 5.000 per kg, petani hanya belanjakan Rp 25.000- Rp 35.000 per hektar. Jenis padi yang ditanam seperti sentanur, aeksibundong, dan ciherang. Kebutuhan ini jauh lebih kecil ketimbang cara konvensional yang membutuhkan bibit 30-40 kg per hektar dalam sekali masa tanam.

Biaya pupuk dan pengusir hama juga diklaim lebih murah. Bila cara konvensional menghabiskan Rp 5 juta per hektar per masa tanam, maka padi organik hanya menghabiskan Rp 2 juta per hektar setiap masa tanam.

”Biaya Rp 2 juta itu adalah uang yang harus dikeluarkan bila petaninya malas buat kompos. Mereka harus membeli 5 ton kompos yang harganya Rp 400 per kg. Kalau buat sendiri harganya jauh lebih murah, kurang dari Rp 200.000,” katanya.

Selain hemat biaya, cara yang diterapkan juga sangat ramah lingkungan. Koordinator Penyuluh dan Mantri Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Cisayong, Enang Ruspandi (46), mengaku, dalam memicu berkembangbiaknya mikro organisme lokal, petani tak menggunakan cairan kimia. Mereka hanya mencampur kotoran ternak dengan cairan manis seperti air nira, air gula, air kelapa.

Petani juga menggunakan air dari biji dan daun sirsak untuk mengusir hama wereng, lalu air tembakau untuk mengusir hama penggerek batang, dan buah klewek dan bratawali untuk hama merah.

Hasil panen jauh berbeda. Di lahan subur, petani padi konvensional maksimal memanen 7 ton per hektar dengan harga Rp 6.000-Rp 7.000 per kg. Bagi petani padi organik bisa memanen 10-12 ton per hektar seharga beras Rp 10.000 per kg.

Petani organik juga menggunakan data ilmiah sebagai patokan tanam. Baik itu untuk proses penanaman, penyiangan, hingga panen. Dengan ini petani tidak perlu berjudi memperkirakan hasil panen,” katanya.

Kiprah petani organik ini membuat Kabupaten Tasikmalaya terkenal sebagai penghasil padi organik. Ketua Gapoktan Simpatik Uu Saeful Bahri (51) mengatakan, sejak tahun 2009, ada banyak pesanan dari Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Jerman, dan Uni Emirat Arab. Namun, gapoktan baru bisa mengirimkan 18 ton dari total permintaan 90 ton.

Saat ini, dari 49.500 hektar lahan sawah di Tasikmalaya, baru 320 hektar lahan sawah organik yang mendapat sertifikat organik internasional dan perdagangan berkeadilan dari The Institute for Marketologi (IMO) yang berbasis di Swiss. Bahkan, 60 hektar lainnya mendapatkan sertifikasi Standar Nasional Indonesia.

Sumber: Kompas (Cornelius Helmy)

Sumber :http://bkp.deptan.go.id/node/180

Tidak ada komentar:

Posting Komentar