Sabtu, 27 Desember 2014

SWASEMBADA PANGAN MASIH PANJANG BERLIKU


SWASEMBADA PANGAN

I.    PENDAHULUAN


Negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan jumlah petani yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia. Walaupun saat ini lahan pertanian semakin sempit namun ekses pekerja di bidang pertanian semakin banyak. Fenomena diatas bukan terjadi karena bidang pertanian adalah pelarian bagi para penganggur tetapi disebabkan oleh pandangan hidup mayoritas Indonesia. Kegiatan bertani yang dilakukan bukan semata mata pencaharian, tetapi sebagai kebudayaan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Mubyarto ”Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia”.

Produksi pangan yang saat ini kita nikmati juga tidak terlepas dari kegiatan budaya masyarakat Indonesia. Pola makan yang dianut masyarakat Indonesia pun juga tercipta oleh kontruksi dari budaya Indonesia. Jika Indonesia ingin memerangi masalah pangan maka ia harus merubah livehood dari petani dan masyarakat Indonesia, bukan hanya melakukan modernisasi pertanian.

II.    PEMBAHASAN

Swasembada Pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah nasional. Swasembada pangan berarti kita mampu utk mengadakan sendiri kebutuhan pangan masyarakat dengan melakukan realisasi & konsistensi kebijakan tsb, antara lain dengan melakukan:

1. Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani & lahan pertanian.

2. Pengadaan infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.

3. Penyuluhan & pengembangan terus menerus utk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat2an, teknologi maupun sdm petani.

4. Melakukan Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan utk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dlm hal ini padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung (khususnya indonesia timur).

Jadi diversifikasi adalah bagian dr program swasembada pangan yg memiliki arti pengembangan pilihan/ alternatif lain makanan pokok selain padi/nasi (sebab di indonesia makanan pokok adalah padi/nasi). Salah satu caranya adalah dengan sosialisasi ragam menu non pad/nasi.


Kebijakan Pemerintah dalam Swasembada Pangan

Pada masa SBY, pemerintah mengeluarkan progam perencanaan revitalisasi pertanian yang mencoba menempatkan kembali sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual dengan meningkatkan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan agribisnis yang mampu meyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung dan palawija. Sampai tulisan ini dibuat baru satu target yang telah dicapai oleh pemrintah yaitu swasembada beras pada tahun 2008 yang lalu.

Dari sederetan kebijakan yang pernah dirumuskan oleh pemerintah hanya beberapa saja yang berhasil mendongkrak kondisi pangan Indonesia, itupun hanya secara parsial dan interim saja. Jika semua permasalahan pangan tersebut berasal dari kebijakan pemerintah, maka kita perlu mempertanyakan paradigma pangan yang selama ini dianut oleh pemerintah.

Presiden menegaskan ada tiga hal yang menjadi perhatian utama pemerintah yaitu peningkatan ketahanan pangan, peningkatan penelitian dan peningkatan kesejahteraan petani. Namun, Wapres Jusuf Kalla merincinya lebih jauh. Menurutnya, swasembada pangan dapat dilaksanakan melalui peningkatan jumlah bibit hibrida, perbaikan saluran irigasi, penguasaan teknologi pertanian serta sosialisasi penggunaan bibit hibrida kepada petani. "Kita hanya butuh kenaikan lima persen produksi padi untuk menuju swasembada, apalagi kita hanya mengimpor 1,5 juta ton dari kebutuhan rata-rata konsumsi beras 32-33 juta ton. Jadi tidak sulitlah untuk mencapai swasembada," kata Wapres, seperti dikutip Antara.

Wapres mengatakan, mandegnya swasembada pangan Indonesia dikarenakan produksi nasional yang konstan, sedangkan rata-rata pertumbuhan penduduk serta konversi lahan pertanian masing-masing meningkat 1,5 persen per tahun.Jadi, tambahnya, apapun alasannya pemerintah harus meningkatkan produksi padi tiga juta ton per tahun, dan untuk menutupi hal itu pada 2007 pemerintah mencanangkan kenaikan produksi lima persen atau setara dengan dua juta ton beras. Target itu akan bisa dicapai, apalagi saat ini bibit-bibit hibrida telah menghasilkan delapan hingga 10 ton per ha atau 10 - 25 persen dibandingkan dengan padi non hibrida.PROGRAM RIIL: Secara teoritis, memang tidak terlalu sulit bagi Indonesia untuk mencapai swasembada pangan. China saja yang penduduknya 1,3 miliar bisa tidak antre beras atau demo karena kekurangan beras. Sedangkan kita yang hanya 240 juta ton penduduk masih mengantre beras.

Selain peningkatan jumlah bibit hibrida, lanjut Wapres, pemerintah perlu ada perbaikan proyek irigasi dan penguasaan teknologi pertanian melalui penelitian dan pengembangan oleh balai-balai penelitian di kampus-kampus, lembaga terkait serta swasta. ”Selama ini, peran swasta dalam mendukung ketahanan pangan nasional masih kurang maksimal, padahal dukungan mereka sangat diperlukan terutama untuk dapat menghasilkan bibit-bibit hibrida yang berkualitas," katanya lagi.Menurut catatan Departemen Pertanian, saat ini Indonesia sudah menghasilkan 287 varietas padi, terdiri atas 189 padi dihasilkan oleh BBPT, 13 oleh Batan, dan 25 varietas oleh swasta. Sayangnya, ”Penggunaan produksi varietas unggul itu belum maksimal, karena belum disosialisasikan secara optimal tentang keuntungan teknis dan ekonomis padi hibrida,” kata Menteri Pertanian Anton Apriyantono, seperti dilansir Antara.
Dalam kesempatan terpisah, Mentan Anton Apriyantono mengklaim, program revitalisasi tanaman pangan dan kebijakan swasembada pangan bahkan dapat dikatakan berhasil. Hal ini, lanjutnya, dapat dilihat dari lima komoditas tanaman pangan unggulan berupa padi, jagung, kedelai, gula dan sapi potong. Data Deptan menunjukkan produksi beras naik 4,8% pada 2007 atau tertinggi dalam 15 tahun. Kenaikan harga beras, ujarnya, merupakan tren musiman yang terjadi menjel.

Hambatan dalam Program Swasembada Pangan

Masih rendahnya peningkatan produksi pangan di Indonesia dan terus menurunnya laju peningkatan produksi pangan dari tahun ke tahun secara teknis lebih di dominasi oleh dua penyebab utama yaitu: (1) Produktivitas pangan yang masih rendah dan terus menurun; dan (2) Peningkatan luas areal penanaman/panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian produktif di pulau Jawa.
Kombinasi kedua faktor di atas mempertajam penurunan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun. Kondisi ini akan terus menjadi “endemic” ke daerah-daerah dan tentunya akan semakin parah dengan seringnya diberitakan kondisi rawan pangan.

Disamping dua masalah klasik di atas, hambatan produksi pangan dipacu pula oleh beberapa isu nasional yang merupakan bagian dari “propaganda dagang” para importir pangan dan lemahnya pranata pertanian sehingga menurunkan gairah produksi oleh petani, antara lain:

1. Misalnya pada Kedelai, bahwa rata-rata kedelai nasional rendah yaitu 1,28 ton/ha, sedangkan di Amerika mampu mencapai 2,3 ton/ha yang kemudian banyak para ahli pertanian latah dan menjustifikasi bahwa tanaman kedelai identik sebagai tanaman subtropik yang hanya cocok tumbuh dan berproduksi tinggi di Negara-negara subtropik dan kurang cocok jika di tanam di Indonesia.Hal ini tidak sepenuhnya benar karena di India dan Cina ternyata rata-rata produktivitas nasionalnya sama dengan Indinesia bahkan lebih rendah. Pada kenyataannya dengan teknologi yang tepat tanaman kedelai di Indonesia mampu mencapai produksi lebih dari 3 ton/ha dan bahkan dalam beberapa pengujian sekala lapangan produksi kedelai di Indonesia dapat melampaui 4,5 ton/ha. Beberapa jenis kedelai temuan baru saat ini telah berhasil pula ditanam dan berproduksi dengan baik pada ketinggian 1.300 m dpl dengan produktivitas lebih dari 3 ton/ha yang selama ini dan selama ini banyak ahli dan pihak-pihak pesimis.

2. Hama dan penyakit komoditi pangan cukup besar karena kondisi iklim di Indonesia yang tropis (panas dan lembab) dan atas dasar teori dan fenomena parsial tersebut diklaim bahwa bertani pangan tidak efisien dan rugi ditanam di Indonesia. Padahal hal di Negara sub tropis sendiri dahulu mengalami masalah yang sama sebelum menerapkan tanaman GMO (genetically modified organism) dan Hibrida. Di negara maju seperti Amerika, Canada dan Australia, lebih dari 80 % tanaman Jagung dan Kedelai yang ditanam adalah GMO. Teknik pengendalian hamanya dilakukan secara total dengan penyemprotan pestisida dalam hamparan yang luas (dengan pesawat) sehingga kemungkinan hama di areal hamparan tersebut musnah termasuk burung dan satwa alam lainnya ikut musnah.

3. Negara maju lebih banyak memberikan produk dan teknologi olahan pangan yang berbasis pada bahan baku impor seperti Biji kedelai, gandum dan kentang, untuk memacu pemakaian konsumsinya, tetapi segi teknologi budidaya pangan kurang diperkenalkan sehingga dalam produksi komoditi pangan di dalam negeri tidak lebih efisien dan kalah bersaing, dan impor semakin besar. Kondisi ini justru tidak memihak ke pembangunan pertanian rakyat dan jika scenario kebijakan pemerintah berpihak kepada kepentingan industri Negara maju di atas, maka Indonesia menjadi pasar produk pangan mereka dan makin besar ketergantungannya dan terjajah pangannya.

4. Sentra perbenihan pangan kurang di kembangkan sebagai industri benih Nasional yang utama dan berkelanjutan. Para produsen benih baik swasta maupun petani penangkar kuang mampu menghasilkan benih yang unggul dan berdaya hasil tinggi dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu perlu perhatian yang serius terhadap jaminan ketersediaan benih, pemberian insentif produsen benih, teknologi produksi, keterjaminan akan konsumsi benih dan tata perbenihan komoditi pangan yang bermutu (pengadaan, persebaran dan ketersediaan, dll.) merupakan titik awal untuk memulai bangkit Pangan.

5. Permasalah lain adalah lemahnya permodalan petani untuk menanam dalam lahan yang lebih luas. Kredit yang dapat menjamin usaha di sektor ini tidak ada. Kalaupun ada hanya sebatas diwacanakan, milsalnya kebijakan KKP kedelai. Lemahnya modal untuk membiayai usaha tani kedelai berdampak langsung pada rendahnya produktivitas dimana ketiadaan modal petani tidak melakukan budidaya dengan tepat seperti tidak dipupuk (tidak mampu beli benih unggul, pupuk dan pestisida), tidak diurus/diberi air irigasi, tidak mampu menahan saat harga turun (stock gudang), bahkan petani terbelilit ijon (tanaman dijual/digadai sebelum panen) dengan harga murah.

Dari banyaknya persoalan dalam produksi pangan nasional serta isu-isu yang makin menjatuhkan posisi produsen (petani), sebenarnya masih ada “optimisme” jika Negara, pemerintah dan para pelaku bisnis pangan serius untuk membangun produksi dan membangun Agribisnis yang berbasis pada ketahanan pangan.
Salah satu hal yang dapat diharapkan dalam percepatan kemandirian pangan nasional adalah adanya hasil-hasil penelitian di dalam negeri yang cukup memberikan harapan. Seperti telah ditemukannya teknologi Bio P 2000 Z oleh anak bangsa telah membuktikan bahwa teknologi ini mampu
meningkatkan produktivitas seperti kedelai, padi dan tanaman pangan lain. Hasil sementara ini pada berbagai kedelai unggul lokal dan unggul Nasional yang dapat dicapai adalah rata-rata di atas 3 ton/ha, dan bahkan dalam riset, potensi kedelai Indonesia yang diperlakukan dengan teknologi Bio P
2000 Z ini secara akademik mampu mencapai 20 ton/ha suatu hasil yang belum pernah terjadi pada hasil riset di Negara maju manapun. Teknologi ini telah dipatenkan di National Patent maupun pada International Patent Organization (International Beureu (IB) , World Intellectual Property Organization (WIPO)) serta telah di Industrikan dalam fabrikasi dan diperdagangkan secara komersial. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI juga telah berhasil mendapatkan berbagai jenis bakteri yang bekerja sangat efektif untuk meningkatkan
produktivitas seperti kedelai. Bakteri ini adalah bakteri penambat nitrogen (Rhizobium dan Azospirillum, Spirillum) serta bakteri pengurai pelarut fosfat. Berbagai jenis bakteri ini telah berhasil disisipkan ke dalam benih kedelai. Dengan teknik yang dikembangkannya, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI ini berhasil mengembangkan benih kedelai plus dan mensinergikan penemuan teknologinya dengan teknologi seperti Bio P 2000 Z untuk lebih mendongkrak produksi. Sementara itu, berbagai varitas kedelai unggul telah berhasil dirakit oleh BATAN, DEPTAN, Perguruan Tinggi dan riset perusahaan swasta menunjukkan kemajuan yang positif: potensi produktivitas varietas/galur meningkat, keseragaman dan ukuran lebih disukai pasar, lebih toleran terhadap cekaman anasir biotic dan abiotik seperti kemasaman lahan, keracunan Al3+ dan kekeringan atau genangan air sementara.
Melihat peluang dan harapan di atas maka tidak diragukan lagi bahwa pengembangan pertanian pangan di daerah transmigrasi yang selama ini terkendala karena rendahnya produktivitas di daerah transmigrasi akan dapat segera diatasi. Banyaknya anasir penghambat produksi pada lahan bukaan baru seperti pH yang rendah, tanah beracun, bahan organik yang tidak seimbang maupun lingkungan mikro ekosistem yang kurang ideal bagi tanaman yang bersangkutan bukan lagi sebagai permasalahan utama. Tentunya untuk mendapatkan hasil maksimal, dalam budidaya tanaman pangan ini memerlukan persyaratan-persyaratan khusus yang “Presisi” dalam pengelolaannya. Diyakini melalui pemanfaatan dan pengembangan lahan- lahan transmigrasi yang telah ada dan yang baru/akan dibuka, jika didukung teknologi, modernisasi (mekanisasi), infrastruktur dan tataniaga produksi yang jelas melalui pola baru pembangunan transmigrasi (KTM Trans) akan memberikan kontribusi yang berarti bagi percepatan swasembada pangan dan ketahanan pangan nasional.

Program Swasembada Pangan Pemerintah Saat Ini

Pada era reformasi sekarang ini, pembangunan pertanian terbawa arus eforia dan warna sosial politik. Ada kecenderungan kebijakan sampai sekarang ini anggaran di sektor pertanian tidak terlalu besar. Untuk APBN terakhir hanya sebesar Rp 9 triliun. Disamping itu ada indikasi karena hiruk pikuknya kebijakan desentralisasi sehingga program swasembada pangan justru terabaikan. Isu-isu lainnya juga membuat kebijakan ini tidak optimal, karena alasan partisipasi rakyat serta mekanisme pasar sudah berjalan, artinya petani sudah menyadari mana komoditas yang menguntungkan maka mereka akan menanamnya. Ada permintaan tinggi maka mereka secara otomatis akan memenuhi supply-nya. Tetapi kenyataannya berbeda, petani Indonesia masih perlu dibimbing yang sejalan dengan program pemerintah.

Kalau kita cermati selama ini, kebijakan-kebijakan pemerintah yang diambil terkait dengan berbagai isu lonjakan harga komoditi pangan sungguh membingungkan. Kebijakan pemerintah yang ditempuh selama ini cenderung hanya responsif yang mempunyai implikasi jangka pendek, padahal permasalahannya menyangkut jangka panjang. Kita ambil contoh kebijakan mengenai minyak goreng tahun lalu, pemerintah kemudian tergopoh-gopoh dengan menaikkan pungutan ekspor crude palm oil (CPO). Kebijakan ini akhirnya tidak juga efektif, sampai akhirnya pemerintah merelakan merogoh kocek anggarannya dengan mengambil kebijakan klasik berupa subsidi minyak goreng, sebagai pro poor. Alangkah sederhananya menyetel sebuah paket kebijakan yang kelihatan grabak-grubuk itu. Padahal permasalahannya tidak sesederhana itu. Akhirnya kebijakan ini tidak tuntas. Kita yakin suatu saat permasalahan ini akan muncul kembali. Dan, instrumen klasik seperti subsidi digunakan lagi sebagai senjata pamungkasnya, sehingga beban anggaran juga semakin berat. Sekarang pemerintah disibukkan lagi dengan melonjaknya berbagai harga komoditas pangan kita, termasuk harga kedelai. Kita berharap kebijakan pemerintah yang diambil akan tuntas. Tidak hanya kebijakan jangka pendek, tetapi semestinya pemerintah mengambil kebijakan yang lebih permanen dan menyeluruh. Karena secara jangka panjang kebutuhan masyarakat terus meningkat seiring kesadaran masyarakat untuk hidup sehat. Jadi, swasembada pangan selalu menjadi prioritas. Jangan sampai pemerintah seolah gengsi untuk melanjutkan kebijakan pemerintah Orde Baru, apalagi kebijakan-kebijakan Orde Baru tidak selalu jelek.

Sudah saatnya pemerintah memikirkan sektor pertanian, perkebunan dan peternakan, sektor yang dianggap tidak penting di era reformasi. Untuk itu, perlu kebijakan serupa insentif perbankan, perbaikan infrastruktur pertanian dan lain-lain, yang mendorong kaum muda terlibat dan bersama-sama menuju cita-cita swasembada pangan.



III.    KESMPULAN

Dalam swasembada pangan pemerintah sudah cukup banyak melakukan usaha-usaha untuk memenuhi semua kebutuhan tetapi seharusnya pemerintah menekankan pada hambatan-hambatan swasembada pangan agar memperkecil tingkat hambatannya. Mewujudkan swasembada beras di tengah produktivitas padi yang kian melandai dan jumlah penduduk yang terus bertambah secara signifikan, menurut Posman Sibuea, maka orientasi kebijakan pangan harus ke arah diversifikasi konsumsi pangan. Hal ini patut segera dilakukan mengingat ketergantungan pada beras dapat menjadi musibah bagi Indonesia apabila harga beras di pasar internasional semakin mahal akibat stok dunia menurun.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber  : http://ikha-giska.blogspot.com/2011/04/swasembada-pangan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar