BANGSA TEMPE ; Kedelai Amerika & Hak Paten Jepang
Rhedeen
Tempe dan tahu merupakan makanan pokok bangsa Indonesia. Tapi akhir-akhir ini Tempe dan Tahu mulai berkurang jumlahnya di pasaran. Dan kalaupun ada, harganya meningkat. Hal ini berkaitan dengan mogok yang dilakukan pengrajin Tempe dan Tahu seiring kenaikan harga kedelai Impor. Kenaikan harga Kedelai impor ini secara logika tidak terlepas dari melemahnya nilai Rupiah terhadap Dollar disamping itu berkurangnya produksi kedelai di negera asal impor karena beberapa faktor. Akumulasi ini menyebabkan harga beli Kedelai impor di tanah air pun meningkat.
PLUS MINUS KEDELAI IMPOR
Jika beras di Indonesia terkenal di impor dari Thailand dan sebagian kecil dari India, lain halnya dengan kedelai. Kedelai di Indonesia didatangkan dari Amerika. Teringat dulu ketika di Indonesia saya menanyakan kepada beberapa pengrajin Tempe dan Tahu mengapa kedelai impor lebih digemari daripada kedelai lokal. “Karena biji biji kedelai impor lebih besar dan bagus daripada kedelai lokal mbak, disamping itu rasanya lebih enak” . Begitu pengakuan beberapa orang yang pernah saya tanya. Tentu saja ini tidak bisa digeneralisir. Akan tetapi cukuplah menjadi gambaran mengapa kedelai impor lebih digemari.
Setahun lalu saya sempat berbincang dengan 2 kawan Indonesia yang bekerja di perusahaan pangan di US dan dulu menimba ilmu tentang Food, Science and Technology di negeri Paman Sam ini tentang kedelai karena mama mertua saya yang kebutuhan sehari-harinya sudah beralih ke 90% bahan pangan organik memberi saya buku tentang Kedelai ketika tahu anak mantunya ini penggemar kedelai. “The Whole Soy Story ; The Dark Side of America`s Favorite Health Food” by Kaayla T.Daniel,PhD, CCN . Mama mertua sangat bijak, tidak berceramah panjang lebar tentang kedelai, cukuplah memberi saya buku tentang Kedelai.
Saya bertanya pada kedua teman saya ini,” Apa benar bahwa dibalik mitos kedelai sehat, ternyata menyediakan ruang memicu terjadinya kanker ? Padahal Jepang, Korea bahsa yang terkenal sehat salah satu bahan makanan utamanya kedelai”.
Kawan saya ini menjelaskan bahwa Kedelai yang diimport dari Amerika ke Indonesia adalah Kedelai yang telah mengalami “Genetic Modified” atau Rekayasa Genetik . Tujuan Genetic Modified memang bagus untuk memperbanyak hasil panen , sehingga produksi meningkat dan kualitas bagus (Biji besar dan rasa enak) tapi memiliki efek samping yang tidak bisa dilihat seketika, jelas mereka.
BANGSA TEMPE
Masih teringat dalam benak saya ketika masih kecil dan makan kedelai rebus di Indonesia. Kedelai rebus yang diikat mirip kacang rebus. Masih ada daun dan selongsongnya. Terasa segar dan nada sedikit rasa getar agak pahit (sulit mendiskripsikan rasa). Rupanya rasa inilah yang dihindari pengrajin Tempe Tahu sehingga kedelai impor dianggap lebih bagus dari sisi rasa.
Kedelai didatangkan Indonesia dari Amerika untuk memenuhi kebutuhan pasar Indonesia yang kekurangan kedelai. Di negeri Paman Sam, Kedelai produk Rekayasa Genetik ditolak pasar yang cukup kritis jika berbelanja tidak memilih yang Genetic Modified .Dan ironisnya justru diambil oleh pasar Indonesia tanpa mempertimbangkan sisi kesehatan.
Bangsa Indonesia adalah bangsa agraris. Ini yang sering diajarkan ketika saya masih duduk dibangku sekolah. Rupanya statement ini merupakan tanda tanya besar karena kebutuhan pokok ternyata banyak didatangkan dari luar negeri. Beras diimpor dari Thailand, India. Kedelai diimpor dari Amerika. Bahkan hak paten tempe pun dimiliki oleh Jepang (Tempe anti Oksidan) dan Amerika (Tempe anti Cholesterol).
Menteri Perdagangan seyogyanya bijak mengatur regulasi Kedelai impor dan mengontrol harga pasar. Peran Kementerian Kesehatan melakukan kontrol terhadap kualitas produk sangat diperlukan, terutama produk yang membahayakan kesehatan manusia dimasa mendatang. Dan Kementerian Pertanian seyogyanya bekerja sama dengan Institute Pertanian Bogor yang setiap tahunnya menghasilkan ribuan sarjana pertanian bersama petani untuk melakukan swasembada pangan. Memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi regulasi harus jelas. Sehingga tidak ada "permainan" yang menyebabkan masyarakat merugi.
Teringat pidato Bung Karno “Jangan jadi Bangsa Tempe”. Bukan bermaksud menghina tempe, akan tetapi maksud Presiden pertama RI ini jangalah jadi bangsa yang mudah diinjak-injak seperti ketika proses pembuatan tempe secara tradisional dan masal di masa lampau. Diinjak-injak bukan oleh bangsa lain, akan tetapi oleh bangsa sendiri, oleh yang membuat regulasi.
Ayo mandiri Indonesia, Indonesia kita bersama !!!
Setahun lalu saya sempat berbincang dengan 2 kawan Indonesia yang bekerja di perusahaan pangan di US dan dulu menimba ilmu tentang Food, Science and Technology di negeri Paman Sam ini tentang kedelai karena mama mertua saya yang kebutuhan sehari-harinya sudah beralih ke 90% bahan pangan organik memberi saya buku tentang Kedelai ketika tahu anak mantunya ini penggemar kedelai. “The Whole Soy Story ; The Dark Side of America`s Favorite Health Food” by Kaayla T.Daniel,PhD, CCN . Mama mertua sangat bijak, tidak berceramah panjang lebar tentang kedelai, cukuplah memberi saya buku tentang Kedelai.
Saya bertanya pada kedua teman saya ini,” Apa benar bahwa dibalik mitos kedelai sehat, ternyata menyediakan ruang memicu terjadinya kanker ? Padahal Jepang, Korea bahsa yang terkenal sehat salah satu bahan makanan utamanya kedelai”.
Kawan saya ini menjelaskan bahwa Kedelai yang diimport dari Amerika ke Indonesia adalah Kedelai yang telah mengalami “Genetic Modified” atau Rekayasa Genetik . Tujuan Genetic Modified memang bagus untuk memperbanyak hasil panen , sehingga produksi meningkat dan kualitas bagus (Biji besar dan rasa enak) tapi memiliki efek samping yang tidak bisa dilihat seketika, jelas mereka.
BANGSA TEMPE
Masih teringat dalam benak saya ketika masih kecil dan makan kedelai rebus di Indonesia. Kedelai rebus yang diikat mirip kacang rebus. Masih ada daun dan selongsongnya. Terasa segar dan nada sedikit rasa getar agak pahit (sulit mendiskripsikan rasa). Rupanya rasa inilah yang dihindari pengrajin Tempe Tahu sehingga kedelai impor dianggap lebih bagus dari sisi rasa.
Kedelai didatangkan Indonesia dari Amerika untuk memenuhi kebutuhan pasar Indonesia yang kekurangan kedelai. Di negeri Paman Sam, Kedelai produk Rekayasa Genetik ditolak pasar yang cukup kritis jika berbelanja tidak memilih yang Genetic Modified .Dan ironisnya justru diambil oleh pasar Indonesia tanpa mempertimbangkan sisi kesehatan.
Bangsa Indonesia adalah bangsa agraris. Ini yang sering diajarkan ketika saya masih duduk dibangku sekolah. Rupanya statement ini merupakan tanda tanya besar karena kebutuhan pokok ternyata banyak didatangkan dari luar negeri. Beras diimpor dari Thailand, India. Kedelai diimpor dari Amerika. Bahkan hak paten tempe pun dimiliki oleh Jepang (Tempe anti Oksidan) dan Amerika (Tempe anti Cholesterol).
Menteri Perdagangan seyogyanya bijak mengatur regulasi Kedelai impor dan mengontrol harga pasar. Peran Kementerian Kesehatan melakukan kontrol terhadap kualitas produk sangat diperlukan, terutama produk yang membahayakan kesehatan manusia dimasa mendatang. Dan Kementerian Pertanian seyogyanya bekerja sama dengan Institute Pertanian Bogor yang setiap tahunnya menghasilkan ribuan sarjana pertanian bersama petani untuk melakukan swasembada pangan. Memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi regulasi harus jelas. Sehingga tidak ada "permainan" yang menyebabkan masyarakat merugi.
Teringat pidato Bung Karno “Jangan jadi Bangsa Tempe”. Bukan bermaksud menghina tempe, akan tetapi maksud Presiden pertama RI ini jangalah jadi bangsa yang mudah diinjak-injak seperti ketika proses pembuatan tempe secara tradisional dan masal di masa lampau. Diinjak-injak bukan oleh bangsa lain, akan tetapi oleh bangsa sendiri, oleh yang membuat regulasi.
Ayo mandiri Indonesia, Indonesia kita bersama !!!
Sumber : http://m.kompasiana.com/post/read/589234/1/bangsa-tempe-kedelai-amerika-hak-paten-jepang-.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar