Problem Pedet di Lobi Hotel
Manufacturing Hope 67
Harga jual pedet (anak sapi) Rp 5 juta per ekor. Untuk menghasilkan satu pedet, seorang peternak menghabiskan uang Rp 9 juta.
Jelaslah: Mana ada petani yang mau memproduksi pedet. Kalau toh di
desa-desa kini masih ada orang yang memelihara sapi, itu karena mereka
tidak menghitung biaya pakan dan biaya tenaga kerja.
Dua tahun lamanya menghasilkan satu pedet. Dua tahun lamanya petani
bekerja mencari rumput serta menjaga dan memandikan sapi, hasilnya
sebuah kerugian Rp 4 juta per pedet.
Itulah akar paling dalam mengapa kita kekurangan sapi dan akhirnya
harus impor daging sapi setiap tahun. Kesimpulan itu saya peroleh ketika
saya mengundang profesor dan ahli peternakan dari berbagai perguruan
tinggi pekan lalu: UGM, Undip, Unsoed, Unhas, Universitas Jambi, dan
Universitas Udayana. Juga pakar dari LIPI.
Di forum itu juga saya undang praktisi peternak sapi, lembaga-lembaga
riset, dan pejabat Kementerian Pertanian. Dengan kesimpulan itu, saya
harus mengakui bahwa program yang saya canangkan tahun lalu belum
menjadi senjata pamungkas untuk mengatasi kekurangan daging sapi. Tapi,
tanpa program itu, saya tidak akan bisa belajar banyak mengenai inti
persoalan selama ini.
Orang memang perlu kebentur tebing untuk bisa belajar yang mendasar. BUMN benar-benar kebentur tebing ketika
mencanangkan program Sasa (sapi-sawit) tahun lalu.
Waktu itu saya setengah memaksa agar perusahaan-perusahaan perkebunan
sawit milik BUMN ikut memelihara sapi. Membantu program Kementerian
Pertanian. Saya minta setidaknya 100.000 sapi digemukkan di perkebunan
sawit di Sumatera.
Selama ini, yang saya tahu, peternak sapi kurang bergairah karena
harga pakan yang mahal. Problem makanan ternak yang mahal itu teratasi
di perkebunan sawit karena sapi bisa diberi makan daun sawit. Gratis.
Setelah program Sasa itu mulai dijalankan, barulah ketahuan: Ada
problem yang lebih mendasar. Sulit mencari pedet yang akan digemukkan di
kebun-kebun sawit itu.
Semula saya mengira teman-teman BUMN perkebunan merasa setengah hati.
Merasa dipaksa. Merasa diberi beban tambahan. Tapi, saya tidak peduli
dengan perasaan itu. Yang jelas, saya kecewa, mengapa program 100.000
sapi itu hanya mencapai 20.000.
Tapi, saya harus realistis. Ternyata bukan karena mereka setengah
hati. Ternyata karena tidak mudah mencari anak sapi. Membeli 100.000
pedet, biarpun punya uang, ibarat mencari penari gangnam di kalangan
penari dangdut.
Bahkan, membeli hanya 20.000 pedet itu pun sudah dianggap
mengguncangkan. Harga pasar pedet naik. Peternak kecil yang berbisnis
penggemukan sapi merasa dirugikan.
Maka para ahli yang hadir dalam diskusi itu; di antaranya Prof
Syamsuddin Hasan (Unhas); Prof Damriyasa (Udayana); Prof Priyo Bintoro
dan Prof Sunarso (Undip); Prof Ali Agus (UGM); Dr Ahmad Shodiq (Unsoed);
Dr Saitul Fakhri (Universitas Jambi); serta Dr Bess Tiesnamurti, Prof
Syamsul Bahri, Prof Kusuma Dwiyanto, dan Ir Abu Bakar (keempatnya dari
Kementan); sepakat minta BUMN tidak hanya fokus menggemukkan sapi, tapi
juga memproduksi pedet.
Para praktisi peternakan sapi dari berbagai daerah yang hadir juga
menyuarakan hal sama. Yang diharapkan bukan BUMN yang membeli pedet
peternak, tapi peternak membeli pedet dari BUMN.
Memang juga banyak data yang dipersoalkan hari itu. Terutama data
jumlah sapi yang selama ini dianggap benar: 14 juta. Kalau angka itu
benar, mestinya impor daging tidak diperlukan lagi.
Demikian juga data produksi dan penyaluran sperma beku untuk
perkawinan/pembuahan buatan. Kalau benar data yang terpublikasikan
selama ini, mestinya tidak akan kekurangan pedet. Kalaupun perkawinan
buatan itu hanya berhasil 60 persennya (teorinya sampai 80 persen),
mestinya ada 1,5 juta pedet yang lahir setiap tahun.
Dari diskusi yang intensif tersebut, BUMN harus mau bekerja lebih
keras, lebih njelimet, lebih mendasar, dan lebih susah: memproduksi
pedet dari kebun-kebun sawit. Dengan menggunakan daun sawit yang gratis,
biaya “membuat” satu pedet yang mestinya Rp 9 juta per ekor itu bisa
ditekan menjadi Rp 4 juta per ekor.
BUMN juga harus lebih sabar. Kalau menggemukkan sapi sudah bisa
menjualnya enam bulan kemudian, memproduksi pedet baru bisa menghasilkan
setelah dua tahun.
Ternyata begitu sulit mengurus sapi. Lebih enak kalau tinggal makan dagingnya.
Lebih enak lagi kalau tanpa susah-susah bisa dapat komisi Rp 5.000 per kg daging yang diimpor!
Tidak perlu susah, tidak perlu mencium bau sapi, tidak perlu mencari
rumput, tidak perlu mikir. Cukup dengan bekerja di lobi hotel dan di
kamar hotel, hasilnya langsung nyata!
“Peternak lobi hotel” seperti itu akan terus tumbuh subur. Impor
daging sangat menguntungkan. Harga daging di luar negeri sangat murah.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pernah mengatakan, harga daging di
Singapura hanya Rp 45.000 per kg. Bandingkan dengan harga di Jakarta
yang Rp 90.000 per kg. Padahal, daging di Singapura itu juga daging
impor.
Proses perizinan untuk suatu perdagangan yang menghasilkan laba yang
begitu besar tentu tidak sehat. Karena itu, dalam diskusi tersebut
kembali dibicarakan ide Dirut PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero)
Ismed Hasan Putro ini: Perusahaan yang diberi izin impor daging harus
menggunakan sebagian labanya untuk memproduksi pedet di dalam negeri.
Entah dengan impor pedet atau impor sapi betina produktif.
Atau dibalik: Perusahaan-perusahaan/koperasi /kelompok tani yang
selama ini “berkorban” rugi Rp 4 juta per pedet itulah yang diberi izin
untuk impor daging!
Setiap persoalan ada jalan keluarnya. Setiap masalah ada hikmahnya.
Tapi, beternak sapi di lobi hotel jelas melanggar sunnatullah yang
nyata! (*)
Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Sumber : http://dahlaniskan.wordpress.com/2013/03/04/problem-pedet-di-lobi-hotel/