Penyimpanan Pakan Ternak
Oleh : Anis Mei MunazarohPenyimpanan adalah salah satu bentuk tindakan pengamanan yang selalu terkait dengan waktu yang bertujuan untuk mempertahankan dan menjaga komoditi yang disimpan dengan cara menghindari, menghilangkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas komoditi tersebut. Dalam dunia peternakan pakan merupakan faktor penentu keberhasilan usaha, dimana ketersediannya sangat terkait dengan waktu, sehingga perlu dilakukan penyimpanan. Penyimpanan pakan yang terlalu lama akan menurunkan kualitas dari pakan tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpanan pakan adalah tipe atau jenis pakan, periode atau lama penyimpanan, metode penyimpanan, temperatur, kandungan air, kelembaban udara, (Williams, 1991), serangga, bakteri, kapang, binatang pengerat dan komposisi zat-zat makanan (Hall, 1970). Waktu penyimpanan cenderung untuk meningkatkan kadar air bahan, yang akan menunjang pertumbuhan jamur yang pada gilirannya akan lebih mempercepat kerusakan bahan tersebut (Wijandi, 1977). Daya simpan tiap jenis bahan pakan yang disimpan berbeda tergantung kandungan air bahan.
Bahan dengan kandungan air yang lebih rendah akan lebih tinggi daya simpannya dibandingkan dengan bahan dengan kadar air yang lebih tinggi (Hall, 1980).
Ada empat tipe kerusakan bahan pakan yang disimpan pada kondisi yang buruk yaitu : a) kerusakan fisik dan mekanik, yaitu kerusakan yang terjadi jika bahan tidak ditangani secara hati-hati waktu kegiatan panen, transportasi, pengolahan dan penyimpanan; b) kerusakan kimiawi, yaitu meliputi kerusakan bahan akibat reaksi kimia atau reaksi pencoklatan non enzimatik yang merusak partikel karbohidrat, penurunan kandungan vitamin dan asam nukleat ; c) kerusakan enzimatik, yaitu terjadi akibat kerja beberapa enzim seperti protease, amilase dan lipase, misalnya pemecahan molekul lemak menjadi asam lemak bebas dan glyserol oleh enzim lipolitik dan aktivitas enzim proteolitik memecah protein menjadi polipeptida dan asam amino (Syarief dan Haryadi, 1984), dan d) kerusakan biologis, terjadi akibat serangan serangga, binatang pengerat, burung, mikroorganisme selama penyimpanan (Williams, 1991).
Bahan dengan kandungan air yang lebih rendah akan lebih tinggi daya simpannya dibandingkan dengan bahan dengan kadar air yang lebih tinggi (Hall, 1980).
Ada empat tipe kerusakan bahan pakan yang disimpan pada kondisi yang buruk yaitu : a) kerusakan fisik dan mekanik, yaitu kerusakan yang terjadi jika bahan tidak ditangani secara hati-hati waktu kegiatan panen, transportasi, pengolahan dan penyimpanan; b) kerusakan kimiawi, yaitu meliputi kerusakan bahan akibat reaksi kimia atau reaksi pencoklatan non enzimatik yang merusak partikel karbohidrat, penurunan kandungan vitamin dan asam nukleat ; c) kerusakan enzimatik, yaitu terjadi akibat kerja beberapa enzim seperti protease, amilase dan lipase, misalnya pemecahan molekul lemak menjadi asam lemak bebas dan glyserol oleh enzim lipolitik dan aktivitas enzim proteolitik memecah protein menjadi polipeptida dan asam amino (Syarief dan Haryadi, 1984), dan d) kerusakan biologis, terjadi akibat serangan serangga, binatang pengerat, burung, mikroorganisme selama penyimpanan (Williams, 1991).
ASPEK KIMIAWI DALAM PENYIMPANAN PAKAN
Proses kimiawi yang dapat terjadi dalam penyimpanan pakan adalah terjadi perubahan atau kerusakan kandungan lemak dari pakan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam mempercepat kerusakan lemak dari pakan adalah kandungan minyak, kontak dengan udara, cahaya, temperatur ruangan, kadar air bahan dan adanya katalis (Patterson, 1989). Kerusakan bijian dan bahan makanan pada penyimpanan dengan kondisi temperatur dan kadar air tinggi, terutama disebabkan oleh meningkatnya aktivitas enzim lipase dalam hidrolisis lemak (Pomeranz, 1974) dimana lemak dipecah menjadi asam lemak bebas dan glycerol (Kaced, et al., 1984). Ketengikan yang terjadi pada bahan yang mengandung minyak dan lemak yaitu ketengikan hidrolisis dan ketengikan oksidasi yang berbeda dalam mekanismenya (Gunawan dan Tangendjaja, 1986).
Ketengikan hidrolisis merupakan akibat reaksi antara bahan pakan dengan air. Pada penyimpanan terlalu lama dimana terjadi kenaikan kandungan air biasanya terjadi ketengikan hidrolisis, akan tetapi ketengikan ini tidak selamanya terjadi bersamaan dengan ketengikan yang lain (Hattab, 1977). Pada reaksi hidrolisis akan dihasilkan gliserida dan asam lemak bebas dengan rantai pendek (C4 – C12). Akibat yang ditimbulkan dari reaksi ini adalah terjadinya perubahan bau dan rasa dari minyak atau lemak, yaitu timbulnya rasa tengik (Djatmiko dan Pandjiwidjaja, 1984).
Sebagai illustrasi, dedak padi yang mempunyai kandungan minyak yang tinggi mudah terhidrolisis oleh enzim lipase bebas. Hidrolisis diakibatkan oleh reaksi antara lipase dan minyak di dalam dedak padi yang menghasilkan asam lemak bebas (Gunawan dan Tangendjaja, 1986). Kadar asam lemak bebas semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan yaitu sebelum penyimpanan 16.5 % dan setelah dua bulan penyimpanan 80.7 % . Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas enzim lipase sangat tinggi sehingga hampir seluruh minyak dapat terhidrolisa dalam waktu dua bulan penyimpanan.
Ketengikan oksidasi yang umum dijumpai yaitu reaksi oksidasi pada ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh mempunyai ikatan rangkap yang mempengaruhi reaksi ini menyebabkan lemak menjadi keras dan kental. Peroksida merupakan hasil antara yang biasanya dipakai sebagai ukuran tingkat ketengikan (Kaced, et al., 1984). Ketengikan oksidatif merupakan reaksi autocatalytic dimana laju reaksi meningkat sejalan dengan meningkatnya waktu penyimpanan. Hal ini disebabkan karena adanya hasil oksidasi awal yang dapat mempercepat reaksi oksidasi selanjutnya, dan reaksi ini dikenal sebagai reaksi berantai (Schultz, et.al., 1962).
Pemecahan unsur lemak oleh ion-ion hidrogen menyebabkan terjadinya reaksi awal terbentuknya lemak radikal bebas dan hidrogen radikal bebas yang merupakan awal kerusakan lemak. Kondisi oksigen atmosfir bereaksi dengan lemak radikal bebas membentuk molekul lemak radikal bebas peroksida, yang berlanjut membentuk molekul hidroperoksida yang stabil dan lemak radikal bebas lain. Tahap akhir oksidasi lemak terjadi reaksi antar lemak radikal bebas, antara lemak radikal bebas dengan lemak radikal bebas peroksida, dan antar lemak radikal bebas peroksida sehingga membentuk senyawa peroksida (Patterson,1989). Lama penyimpanan akan meningkatkan oksidasi lemak dedak padi yang ditunjukkan dengan bertambahnya bilangan peroksida (Syamsu, 2000a).
ASPEK MIKROBIOLOGI DALAM PENYIMPANAN PAKAN
Selama penyimpanan, pakan dapat mengalami kerusakan akibat adanya aktifitas mikroba seperti tumbuhnya jamur. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
jamur pada pakan adalah : 1) aktivitas air, yang dinyatakan dengan aw
yaitu jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme, 2)
konsentrasi ion hidrogen, 3) temperatur, 4) konsistensi ; cair dan
padat, 5) status nutrien, dan 6) adanya bahan pengawet (Pitt dan
Hocking, 1991). Kerusakan pakan bentuk biji-bijian terjadi karena adanya
kontaminasi jasad renik dapat menyebabkan penurunan mutu karena kemungkinan mengandung racun. Sering dijumpai kerusakan bahan yang disimpan lama karena ditumbuhi kapang Aspergillus sp dan Penicillium sp yang tumbuh dominan selama penyimpanan (Syarief, 1985). Kapang Aspergillus flavus tumbuh dimana-mana, baik di udara, air, tanah, bahan pangan maupun pakan seperti jagung, beras dan biji kapas (Moreau dan Moss, 1979).
Kadar air dalam bahan pakan serta kelembaban relatif sangat berpengaruh pada pertumbuhan A.flavus penghasil aflatoksin. Kenaikan kadar air selama penyimpanan akibat pakan menyerap uap air dari udara menyebabkan pertumbuhan jamur semakin meningkat karena bertambah banyak spora jamur dari udara terbawa masuk (Goldblatt, 1969). Kadar aflatoksin dalam dedak padi meningkat seiring dengan meningkatnya kadar air dedak padi selama penyimpanan (Syamsu, 2000b ). Species Aspergillus dan Penicillium sangat cepat tumbuh pada biji-bijian, kacang- kacangan dan produk lainnya selama proses penyimpanan terutama jika kandungan air bahan cukup tinggi (Wyllie dan Morehouse,
1978).
A.flavus dan A.parasiticus memerlukan kelembaban relatif untuk pertumbuhan dengan batas optimum 82 – 85 % dan suhu 30 – 32°C, sedangkan kondisi optimum untuk menghasilkan aflatoksin adalah pada suhu 25 – 30°C dengan kelembaban relatif 85 % dan pertumbuhan jamur tersebut optimum pada kandungan air 15 – 30 % (Indian Council of Agricultural Research, 1987). Aflatoksin adalah racun hasil metabolisme sekunder dari kapang A. flavus dan A. parasiticus yang banyak dijumpai pada berbagai pakan yang berasal dari komoditi pertanian maupun hasil sampingannya. Adanya pengaruh lingkungan yang mendukung pertumbuhan kapang tersebut dan penyimpanan bahan yang kurang memadai menyebabkan kontaminasi aflatoksin dapat terjadi setiap saat dan disetiap tempat (Sutikno, et al., 1993). Aflatoksin diberi nama sesuai penampakan pada kromatografi lapis tipis (TLC) yaitu B1 dan B2 untuk fluoresensi biru dan G1 dan G2 untuk fluoresensi hijau (Muhilal, et al., 1985). Kadar toksisitas dari tiap jenis aflatoksin berdeda, yang paling toksik adalah aflatoksin B1 dengan urutan kadar toksisitas adalah B1 > G1 > B2 > G2 (Giambrone, et al., 1985).
A.flavus dan A.parasiticus memerlukan kelembaban relatif untuk pertumbuhan dengan batas optimum 82 – 85 % dan suhu 30 – 32°C, sedangkan kondisi optimum untuk menghasilkan aflatoksin adalah pada suhu 25 – 30°C dengan kelembaban relatif 85 % dan pertumbuhan jamur tersebut optimum pada kandungan air 15 – 30 % (Indian Council of Agricultural Research, 1987). Aflatoksin adalah racun hasil metabolisme sekunder dari kapang A. flavus dan A. parasiticus yang banyak dijumpai pada berbagai pakan yang berasal dari komoditi pertanian maupun hasil sampingannya. Adanya pengaruh lingkungan yang mendukung pertumbuhan kapang tersebut dan penyimpanan bahan yang kurang memadai menyebabkan kontaminasi aflatoksin dapat terjadi setiap saat dan disetiap tempat (Sutikno, et al., 1993). Aflatoksin diberi nama sesuai penampakan pada kromatografi lapis tipis (TLC) yaitu B1 dan B2 untuk fluoresensi biru dan G1 dan G2 untuk fluoresensi hijau (Muhilal, et al., 1985). Kadar toksisitas dari tiap jenis aflatoksin berdeda, yang paling toksik adalah aflatoksin B1 dengan urutan kadar toksisitas adalah B1 > G1 > B2 > G2 (Giambrone, et al., 1985).
Di daerah tropis dengan kelembaban relatif tinggi, praktis tidak ada bahan yang tidak terkontaminasi oleh aflatoksin (Bilgrami dan Sinha, 1986). Kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak dapat dikurangi dengan mengendalikan fungi penghasil aflatoksin dan detoksifikasi (Quitco, 1991). Beberapa bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan A.flavus adalah etilen oksida, sulfur oksida, theobromine, etil alkohol, metil alkohol, asam asetat, asam propionat, sodium bisulfat dan amonium polipropionat (Siriacha, et al., 1991).
Pengaruh aflatoksin terhadap kesehatan ternak terutama ternak unggas telah banyak dipublikasikan. Tergantung pada tinggi rendahnya level aflatoksin dalam bahan pakan,jenis dan umur ternak, maka pengaruh negatif aflatoksin dapat bervariasi mulai dari tingkat aflatoksikosis ringan sampai dengan kematian, dan aflatoksin dapat menjadi penyebab kerugian dalam usaha peternakan melalui makanan ternak (Sutikno, et al., 1993).
Kerugian di bidang peternakan yang disebabkan oleh aflatoksin meliputi beberapa hal, yaitu dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi (telur dan daging),terganggunya fungsi metabolisme dan absorbsi lemak, tembaga, besi, kalsium, fosfor, betakaroten serta memperlemah sistem kekebalan. Selain itu dengan adanya aflatoksin dalam pakan perlu diimbangi dengan kebutuhan energi, protein, vitamin yang lebih tinggi yang menyebabkan biaya produksi menjadi lebih mahal (Hamilton, 1987).
Aflatoksin dapat menurunkan pertambahan berat badan pada itik, kalkun,
angsa, burung (Muller, et al., 1970), dan pada ayam menyebabkan
pertumbuhan menurun, konversi makanan tidak efisien, pembesaran hati,
jantung dan pankreas, serta pucatnya warna jengger, kaki dan sumsum
tulang (Smith dan Hamilton, 1970).
PENUTUP
Penyimpanan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tipe atau jenis pakan, periode atau lama penyimpanan, metode penyimpanan, temperatur, kandungan air, kelembaban udara, serangga, bakteri, kapang, binatang pengerat dan komposisi zat-zat makanan. Kerusakan bahan pakan yang dapat terjadi dalam penyimpanan pakan yaitu : kerusakan fisik dan mekanik, kerusakan kimiawi, kerusakan enzimatik,dan kerusakan biologis dan mikrobiologi. Untuk kerusakan kimiawi, biologis dan mikrobiologi dapat terjadi karena adanya aktifitas kimiawi, seperti terjadinya ketengikan yaitu ketengikan oksidatif dan hidrolisis serta aktifitas biologis dan mikrobiologis, seperti tumbuhnya jamur selama penyimpanan yang dapat menghasilkan toksin sehingga pada akhirnya akan menurunkan kualitas pakan.
Penyimpanan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tipe atau jenis pakan, periode atau lama penyimpanan, metode penyimpanan, temperatur, kandungan air, kelembaban udara, serangga, bakteri, kapang, binatang pengerat dan komposisi zat-zat makanan. Kerusakan bahan pakan yang dapat terjadi dalam penyimpanan pakan yaitu : kerusakan fisik dan mekanik, kerusakan kimiawi, kerusakan enzimatik,dan kerusakan biologis dan mikrobiologi. Untuk kerusakan kimiawi, biologis dan mikrobiologi dapat terjadi karena adanya aktifitas kimiawi, seperti terjadinya ketengikan yaitu ketengikan oksidatif dan hidrolisis serta aktifitas biologis dan mikrobiologis, seperti tumbuhnya jamur selama penyimpanan yang dapat menghasilkan toksin sehingga pada akhirnya akan menurunkan kualitas pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Bilgrami, K.S and S.K.K. Sinha. 1986. Aflatoxin in India. Proc. Workshop Aflatoxin in
Maize. El Batan, Mexico
Djatmiko, B dan A. Pandjiwidjaja. 1984. Tehnologi Minyak dan Lemak I. Jurusan
Tehnologi Industri Fateta IPB, Bogor
Francis, B.J and J.F. Wood. 1982. Changes in the Nutritive Content and Value of Feed
Concentrates During Storage. In : Rechcigl, M. Jr. (ed.). Handbook of Nutritive
Value of Processed Food. Vol. II Animal Feedstuff. CRC Press, Inc. Boca Raton,
Florida Giambrone,
J.J., U.L. Diener., N.D. Davis., V.S. Panangola and F.J. Hoerr. 1985. Effect of aflatoxin on young turkey and broiler chickens. Poultry Sci. 64 : 1678 – 1684
Goldblatt, L.A. 1969. Introduction of Aflatoxin. In : L.A. Goldblatt (ed.). Aflatoxin
Scientitic Background, Control and Implication. Academic Press, New York
Gunawan dan B. Tangendjaja. 1986. Pengaruh kadar asam lemak bebas dalam ransum
terhadap pertumbuhan ayam pedaging. Ilmu dan Peternakan 2 (4) : 159 – 162
Hall, C.W. 1970. Handling and Storage of Food Grains in Tropical and Subtropical Areas. FAO, Rome
Hall, C.W. 1980. Drying and Storage of Agricultural Crops. The AVI Publishing Co, Inc. Westport, Connecticut
Hamilton, P.B. 1987. Why the Animal Industry Worries about Mycotoxin. Proc.
Symposium on Recent Development in the Study of Mycotoxin, Illinois
Hattab, S. 1977. Ketengikan (rancidity) ransum makanan ternak dan akibatnya. Warta
Pertanian 7 (41)Indian Council of Agricultural Research. 1987. Aflatoxin in Groundnut, Technologies for Better Crops. Krishi Anusandhan Bhavan, New Delhi
Kaced., Hoseney. R.C and E. Varrino-Marston. 1984. Factors affecting rancidity in
ground pearl millet (Pennisetum americanum L. Leeke). Cereal Chem. 61 (2) : 187
- 192
Moreau, C and M. Moss. 1979. Mold, Toxins and Food. John Wiley & Sons. Chichester,
New York, Brisbane
Muhilal., Shinta., R. Syarief., dan S. Saidin. 1985. Cemaran Aflatoksin pada Bahan
Makanan serta Bahayanya untuk Manusia dan Hewan. Lokakarya Nasional Pasca
Panen, Cisarua Bogor
Maize. El Batan, Mexico
Djatmiko, B dan A. Pandjiwidjaja. 1984. Tehnologi Minyak dan Lemak I. Jurusan
Tehnologi Industri Fateta IPB, Bogor
Francis, B.J and J.F. Wood. 1982. Changes in the Nutritive Content and Value of Feed
Concentrates During Storage. In : Rechcigl, M. Jr. (ed.). Handbook of Nutritive
Value of Processed Food. Vol. II Animal Feedstuff. CRC Press, Inc. Boca Raton,
Florida Giambrone,
J.J., U.L. Diener., N.D. Davis., V.S. Panangola and F.J. Hoerr. 1985. Effect of aflatoxin on young turkey and broiler chickens. Poultry Sci. 64 : 1678 – 1684
Goldblatt, L.A. 1969. Introduction of Aflatoxin. In : L.A. Goldblatt (ed.). Aflatoxin
Scientitic Background, Control and Implication. Academic Press, New York
Gunawan dan B. Tangendjaja. 1986. Pengaruh kadar asam lemak bebas dalam ransum
terhadap pertumbuhan ayam pedaging. Ilmu dan Peternakan 2 (4) : 159 – 162
Hall, C.W. 1970. Handling and Storage of Food Grains in Tropical and Subtropical Areas. FAO, Rome
Hall, C.W. 1980. Drying and Storage of Agricultural Crops. The AVI Publishing Co, Inc. Westport, Connecticut
Hamilton, P.B. 1987. Why the Animal Industry Worries about Mycotoxin. Proc.
Symposium on Recent Development in the Study of Mycotoxin, Illinois
Hattab, S. 1977. Ketengikan (rancidity) ransum makanan ternak dan akibatnya. Warta
Pertanian 7 (41)Indian Council of Agricultural Research. 1987. Aflatoxin in Groundnut, Technologies for Better Crops. Krishi Anusandhan Bhavan, New Delhi
Kaced., Hoseney. R.C and E. Varrino-Marston. 1984. Factors affecting rancidity in
ground pearl millet (Pennisetum americanum L. Leeke). Cereal Chem. 61 (2) : 187
- 192
Moreau, C and M. Moss. 1979. Mold, Toxins and Food. John Wiley & Sons. Chichester,
New York, Brisbane
Muhilal., Shinta., R. Syarief., dan S. Saidin. 1985. Cemaran Aflatoksin pada Bahan
Makanan serta Bahayanya untuk Manusia dan Hewan. Lokakarya Nasional Pasca
Panen, Cisarua Bogor
Sumber : http://thismilk.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar