Kamis, 24 November 2011
Membuat Pestida Alami dari Asap Cair
Jumat, 18 November 2011
Pohon Industri Ubikayu alias Singkong
PROFIL KOMODITI UBI KAYU
Ubi kayu merupakan tanaman umbi-umbian yang dapat tumbuh di dataran rendah dengan curah hujan yang tidak terlalu tinggi. Biasanya tanaman ini dipanen setelah berumur sekitar 10 bulan. Produksi ubi kayu Indonesia menempati urutan kelima dunia. Ubi kayu digunakan sebagai sumber pati yang merupakan bahan baku berbagai industri. Produk turunan ubi kayu yang diperdagangkan di pasar dunia antara lain adalah gaplek (manioc), tepung singkong (cassava starch), tapioka, dan beberapa produk kimia seperti alkohol, gula cair (maltosa, glukosa, fruktosa), sorbitol, siklodekstrin, asam sitrat, serta bahan pembuatan edible coating dan biodegradable plastics. Negara tujuan ekspor utama kelompok produk ini antara lain RRC, Uni Eropa, Taiwan, dan Korea Selatan.
Sumber : http://www.bi.go.id/web/id/DIBI/Info_Eksportir/Profil_komoditi/ProfilKomoditi/ubi_kayu.htm
Membuat Gula Cair dari Singkong
GULA SINGKONG MUDAH BERCAMPUR DENGAN BAHAN LAIN, HARGANYA LEBIH MURAH , DAN LEBIH MUDAH DISERAP TUBUH KARENA BERUPA GLUKOSA. DENGAN KELEBIHAN ITU DUNIA INDUSTRI MEMERLUKAN GULA SINGKONG DALAM JUMLAH BESAR.
Saat ini harga gula pasir Rp8.000 per kg. Gula asal tebu Sacharum officinarum merupakan sumber pemanis utama. Kebutuhan gula nasional mencapai 4,3-juta ton per tahun. Padahal, produksi dalam negeri hanya 2,72-juta ton per tahun, sehingga untuk mencukupi kebutuhan Indonesia harus mengimpor.
Pantas bila harga gula cenderung melonjak karena hampir 50% kebutuhan nasional bergantung pada impor. Bila harga gula di pasar dunia naik, maka harga di dalam negeri pun ikut melonjak. Oleh karena itu konsumen-terutama dunia industri-melirik sumber pemanis alternatif. Menurut Dr Nur Richana, periset di Balai Besar Pascapanen Pertanian, pemanis alternatif yang berpotensi adalah gula cair. ‘Gula cair dapat mudah dibuat dari hidrolisis pati. Sumber pati pun melimpah seperti singkong,’ kata Richana.
Enzimatis
Mengapa singkong? Singkong sebagai sumber pati ketersediaannya memadai. Luas penanaman singkong cenderung meningkat. Pada 2008, luas tanam kerabat jarak itu 1.204.933 ha meningkat dari setahun sebelumnya yang 1.201.481 ha. Harganya pun lebih murah ketimbang sumber pati lain seperti jagung. Selain itu rendemen juga sangat tinggi, mencapai 80-95%. Artinya dari sekilo tapioka menghasilkan 800-950 g gula cair. Untuk memproduksi gula cair, produsen dapat memanfaatkan tapioka alias tepung singkong. Dari sekilo singkong menghasilkan 250-300 g pati. Menurut Richana gula cair dari tapioka dibuat dengan teknologi enzimatis. Prosesnya terdiri atas dua tahap: likuifikasi dan sakarifikasi yang melibatkan enzim. Likuifikasi merupakan pemecahan pati menjadi dekstrin dengan bantuan enzim alfa-amilase. Sedangkan sakarifikasi berupa penguraian dekstrin menjadi glukosa dengan enzim amiloglukosidase.
Pada tahap likuifikasi, produsen mencampur tapioka dengan air. Tiga liter air untuk melarutkan sekilo tapioka dan diaduk rata. Campuran itu lalu dipanaskan pada suhu 95-105oC. Selama pemanasan, produsen menambahkan 0,8 ml enzim alfa-amilase per kg pati tapioka. Tingkat keasaman larutan juga dipertahankan pada pH 6,2-6,4. Caranya dengan menambahkan natrium hidroksida atau kalsium klorida.
Setelah 60 menit, tepung tapioka itu terdegradasi menjadi dekstrin (baca: Olah Tapioka Jadi Dekstrin, Trubus Agustus 2009). Setelah didinginkan hingga suhu 60oC, produsen menambahkan 0,8 ml enzim amiloglukosidase per kg pati. Proses itu disebut sakarifikasi yang berlangsung selama 76 jam. Selama sakarifikasi pH diatur pada kisaran 4-4,6 dengan menambahkan asam klorida ke dalam larutan pati. Proses sakarifikasi dihentikan dengan memberikan 0,5-1% arang aktif per kilogram pati. Arang aktif mampu mengikat, menggumpalkan, dan mengendapkan kotoran-kotoran yang terdapat dalam gula cair. Selain itu arang aktif berfungsi menghentikan aktivitas enzim. Tahap itu disebut pemucatan. Setelah itu lakukan penyaringan untuk memisahkan gula cair dengan karbon aktif dan endapan kotoran. Penyaringan bertujuan menghasilkan gula cair dengan tingkat kejernihan 93%. Bila belum tercapai, ulangi kembali pemucatan dan penyaringan.
Gula cair kemudian dilewatkan ke dalam tabung berisi penukar ion. Tabung penukar ion terdiri atas 3 tabung masingmasing berisi resin kation, anion, dan campuran anion serta kation. Tujuannya untuk mengikat dan memisahkan ion-ion logam dan kotoran yang larut dalam gula cair.
Tahap terakhir adalah evaporasi. Produsen memasukkan gula cair yang telah melewati tabung penukar ion itu ke dalam evaporator untuk meningkatkan kemurnian gula. Proses evaporasi berlangsung pada suhu 50-60oC. Indikasi evaporasi selesai ketika gula cair berhenti menetes dari pipa evaporator. Dengan pemurnian itu kadar kemanisan gula cair meningkat, semula 30-36o briks menjadi 60-80o briks.
Skala rumahan
Selama ini gula cair banyak digunakan oleh industri pangan dan farmasi. Gula cair sebagai substitusi sukrosa dalam pembuatan es krim, sirup, pemanis makanan dan minuman, serta obatobatan. Menurut Richana penggunaan gula cair asal singkong pati lebih sehat ketimbang pemanis sintetis. Beberapa produsen gula cair adalah PT Sumber Manis, PT Sugarindo Inti, dan PT Indo Fructose Abadi. Richana mengatakan dengan teknologi enzimatis, produsen skala rumahan memungkinkan untuk memproduksi gula cair.
‘Pada musim hujan perajin tapioka sulit mengeringkan tepung sehingga mutu pati jelek dan harga jual rendah. Bila dimanfaatkan untuk gula cair, maka pati basah dapat langsung diolah dan memiliki nilai tambah lebih tinggi,’ kata doktor Teknologi Bioproses alumnus Institut Pertanian Bogor itu.
Harga gula cair dengan kemanisan 80o briks, misalnya, Rp5.000. Sedangkan biaya produksi Rp3.000 per kg. Menurut Ade Iskandar, produsen olahan singkong di Bogor, Jawa Barat, prospek gula cair sangat bagus. Sebab, kebutuhan industri sangat tinggi dan selama ini masih harus mengimpor.
(Ari Chaidir)
Cara Membuat Gula Asal Singkong
1. Larutkan tepung tapioka dalam air dengan perbandingan 1 : 3.
2. Panaskan pada suhu 95-105oC dan tambahkan 0,8 ml enzim alfa-amilase per kg pati sembari diaduk rata.
3. Setelah 60 menit pemanasan, dinginkan larutan hingga bersuhu 60oC. Untuk memastikan pati telah terdegradasi menjadi dekstrin dilakukan uji iod dengan meneteskan iodium pada sampel bahan. Bila iod berwarna cokelat berarti semua pati sudah terdegradasi menjadi dekstrin. Kemudian tambahkan 0,8 ml enzim amiloglukosidase per kg pati. Diamkan larutan selama 76 jam hingga menjadi cairan gula.
4. Tambahkan 0,5-1% arang aktif per kg pati ke dalam gula cair untuk mengikat, menggumpalkan, dan mengendapkan pati, serta menghentikan aktivitas enzim. Saring larutan untuk memisahkan gula cair dari karbon aktif dan kotoran sehingga tingkat kejernihan gula 93%. Bila belum tercapai, ulangi kembali pemucatan dan penyaringan.
5. Alirkan gula cair melalui tabung berisi penukar ion untuk mengikat dan memisahkan ion-ion logam dan kotoran dalam gula cair. Tabung penukar ion terdiri atas 3 tabung masing-masing berisi resin kation, kation, dan campuran anion dan kation.
6. Evaporasikan gula ke dalam evaporator untuk meningkatkan kadar kemurnian gula. Proses evaporasi berlangsung pada suhu 50-60oC. Sekarang pemanis asal singkong itu pun siap pakai.***
Agar Singkong menghasilkan ubi 200 ton per hektar
<!--[if gte mso 9]>
PRODUKSI MAKSIMAL SINGKONG
Pensiun dini dari sebuah bank, berpendidikan sarjana, dan datang dari keluarga berada, Yordan Bangsaratoe memilih menjadi pekebun singkong, bahan baku bioetanol. Beragam cibiran seperti orang gila, tak menyurutkan niatnya. Kini dari kebun singkong ia menuai laba bersih Rp40-juta per ha, jauh lebih besar ketimbang gaji sebagai karyawan bank. Rahasianya? Ia menggenjot produksi hingga 120 ton/ha; pekebun lain rata-rata cuma 20-30 ton per ha.
Usianya 38 tahun ketika bank tempatnya bekerja selama 9 tahun itu dilikuidasi. Namanya tercatat dalam deretan karyawan yang harus 'pensiun dini'. Sarjana Ekonomi alumnus Universitas Lampung itu sempat gamang. Untuk apa uang pesangon itu? Ia akhirnya memutuskan menanam singkong, komoditas yang banyak diusahakan di Lampung. Yordan tertantang lantaran banyak petani singkong di bumi Ruwai Jurai itu miskin.
Setelah bertemu peneliti, berselancar di dunia maya, dan membaca pustaka, Yordan menyambung bibit singkong. Ia menjadikan singkong kasetsart sebagai batang bawah dan singkong karet sebagai batang atas. Kasetsart dipilih sebagai batang bawah karena unggul. 'Potensi hasilnya mencapai 30 ton/hektar,' kata Yordan.
Soal singkong karet? Varietas yang tidak menghasilkan ubi itu berdaun rimbun. Yordan berasumsi, dengan banyaknya jumlah daun, maka pertumbuhan ubi semakin besar. Sebab, daun tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Dari proses itu dihasilkan makanan yang akan dipasok ke seluruh bagian tanaman. Sedangkan kelebihannya akan disimpan dalam umbi. Penyambungan itu ia lakukan sendiri untuk menghasilkan 4.400-4.500 bibit. Itu cukup untuk penanaman di lahan 1 ha.
Ayah 2 anak itu menyiapkan bibit pada musim kemarau. Sambungan antara singkong kasetsart dan singkong karet diikat dengan plastik. Ia rutin mengontrol pertumbuhan bibit di persemaian selama sebulan. Jika terjadi penyumbatan alias bottleneck, dipastikan sambungan tidak sempurna, jadi tidak layak dijadikan bibit. Bila kulit batang dan gabus berwarna putih dan tumbuh mata tunas, maka penyambungan itu berhasil.
Pupuk
Sebulan pascapenyambungan, ia memindahtanamkan bibit ke lahan setelah memotong bagian akar. Yordan membudidayakan anggota famili Euphorbiaceae itu berjarak tanam 1,5 m x 1,5 m sehingga populasi 4.400-4.500 batang per ha. Itu cukup memberikan ruang bagi singkong untuk tumbuh maksimal. Bandingkan dengan jarak tanam pekebun lain 1 m x 1 m-total populasi lebih dari 9.000 tanaman-sehingga tampak rapat. Dampaknya, produksi justru rendah.
Menurut Yordan, jarak tanam lebar bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi singkong. 'Komposisi pupuk kunci utamanya, bukan banyaknya pupuk,' kata pria kelahiran 11 Desember 1960 itu. Yordan menaburkan 5 ton pupuk kandang per ha di lahan yang sudah diolah. Empat hari usai tanam, ia menambahkan 0,5 gram pupuk NPK di sekeliling batang. Total pupuk NPK yang diberikan 200 kg. Ia kembali memberikan total 300 kg NPK ketika kerabat karet itu berumur 3 bulan. Yordan memanen singkong berumur 10 bulan. Produktivitas ubikayu yang dibudidayakan di Madukoro, Lampung Utara, itu mencapai 30 kg per tanaman atau sekitar 120 ton per hektar. Saat ini, ia mengebunkan 17 ha. Dengan begitu ia mampu memanen 80 ton singkong per hari. Dengan kadar pati 30%, hanya perlu 4 kg singkong untuk menghasilkan 1 liter bioetanol; varietas lain, 6 kg. Yang juga menerapkan sistem budidaya intesif adalah Tjutju Juniar Sholiha, pekebun singkong di Sukabumi, Jawa Barat. Ia berpegang pada komposisi pupuk untuk memaksimalkan singkong varietas darul hidayah. 'Bila tidak dipupuk, bobot umbi paling 15-20 kg. Tapi dengan pemupukan intensif, produksi menjulang 20-40 kg per tanaman,' katanya.
Rendam
Sebelum menanam, Tjutju merendam bibit sepanjang 10-15 cm dalam pupuk organik cair selama 3 jam. Bukan cuma sebagian, tetapi seluruh permukaan bibit terendam dalam pupuk. Tujuannya untuk mempercepat pertumbuhan tunas. Ia menanam bibit-tanpa daun-berjarak 2,5 m x 1 m sehingga total populasi 5.000 tanaman. Alumnus Fakultas Biologi Universitas Nasional itu langsung memberikan 1 kg kompos per tanaman sekaligus menyiramkan pupuk organik cair. Hanya dalam waktu 2 pekan, bibit memunculkan tunas muda.
Perempuan kelahiran Bandung 17 Juni 1969 itu kembali memberikan pupuk organik cair pada bulan kedua dan keempat dengan total dosis per bulan sebanyak 2 liter untuk seluruh tanaman. Sedangkan pada bulan ketiga dan kelima ia memberikan 600 kg Urea dan 495 kg NPK di bawah tajuk tanaman. Setelah bulan kelima hingga panen, ia tak pernah memupuk lagi.
Oleh karena itu, penanaman sebaiknya saat musim hujan. Dengan budidaya seperti itu Manihot utillisima berproduksi maksimal, 200 ton per hektar atau rata-rata 40 kg per tanaman. Bahkan ia pernah memanen 100 kg umbi dari 1 tanaman. Hasil penelitian Institut Pertanian Bogor, singkong darul hidayah yang dikembangkan Tjutju berkadar pati 32%.
Yordan dan Tjutju mantap berkebun singkong lantaran pasar terbuka lebar. Produsen bioetanol dan tapioka menyerap singkong produksi mereka. Dengan harga Rp520 per kg, Yordan meraup omzet Rp62-juta per ha. Padahal, biaya produksi hanya Rp130 per kg sehingga laba bersih Yordan Rp46-juta per ha. Saat ini ia mengelola 10 ha lahan. Tingginya produksi singkong mereka menjadi incaran Korea, China, Taiwan, dan Kamboja. 'Karena produksi bibit masih terbatas, saya baru akan memasok Kamboja,' kata Tjutju.
Sumber : http://www.starfarmagris.co.cc/2009/04/sehektar-200-ton_11.html
AREN, SINGKONG DAN SAPI, Sinergi Pangan, Pakan dan Energi Ramah Lingkungan
Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto
Ketahanan Pangan dan Ketahanan Energi adalah dua strategi dasar dalam upaya membangun kemandirian bangsa, martabat dan sekaligus ketahanan bangsa dari situasi global yang semakin tidak menentu. Strategi dasar kemandirian bangsa memang bertumpu pada kemandirian di bidang pangan dan energi. Karena dari situ lah seluruh aspek kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan yang paling mendasar itu dimulai.
Krisis yang terjadi di bebagai negara akan semakin sulit dipulihkan seandainya negara yang dilanda krisis tersebut sangat tergantung dengan sumber pangan dan energi dari luar. Bagi bangsa Indonesia ketahanan pangan dan energi adalah wajib hukumnya untuk segera diwujudkan, agar Indonesia terhindar dari pengaruh krisis global yang sewaktu-waktu akan terjadi, seperti sekarang ini.
Oleh karena itu perlu dirancang skema-skema yang brilian dalam mengelola sumber daya alam Nusantara ini dalam rangka segera mencapai kemandirian pangan dan energi. Pakan dalam hal ini adalah pangan untuk hewan-hewan ternak kita. Kalau pakan tidak diperhatikan juga akan berpengaruh pada berkurangnya stok bahan pangan.
Ketergantungan terhadap sumber bahan pangan dari luar seharusnya sedikit demi sedikit dikurangi hingga suatu saat menjadi paling minimal. Karena ketergantungan dengan luar akan mengakibatkan pada berkurangnya kedaulatan, martabat serta rasa kebanggaan dan percaya diri suatu bangsa. Sangat sedih apabila bangsa yang besar seperti Indonesia ini diremehkan oleh bangsa lain. Ibu Pertiwi akan menangis, para Pendiri Bangsa ini akan bersedih, dan Anak Bangsa tidak memiliki kepercayaan lagi, bahkan untuk sekedar mempertahankan kemerdekaan asasi suatu bangsa.
Walah..... kok jadi sentimentil begitu. Lho.. itu bukan sentimentil, tetapi rasa keprihatinan yang amat sangat menyesakkan dada, karena di dalam dada ini masih subur rasa nasionalisme dan keinginan melihat bangsa Indonesia ini bangkit menjadi Negara yang disegani. Ada keinginan yang sangat besar bahwa Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia, menjadi lumbung energi dunia sampai akhir jaman nanti. Karena rasanya Tuhan memang menakdirkan Indonesia terletak di daerah Tropis, dimana matahari bersinar sepanjang tahun, sumber daya alam yang melimpah, manusia-manusia yang unggul budayanya, baik perangainya dan taat kepada Tuhannya.
Apa hubungannya antara Aren, SINGKONG dan Sapi?
Begini, Aren kita yakini mempunyai potensi yang luar biasa dan paling unggul sebagai komoditi penghasil sumber pangan (yaitu gula dan lain-lain) sekaligus sebagai sumber energi, industri masa depan (yaitu bioethanol dan aneka turunannya). Produktifitasnya yang sangat luar biasa itulah sehingga Aren dijadikan leading program dari salah satu skema menuju mandiri pangan dan energi kita.
Namun karena Aren memerlukan waktu pertumbuhan yang cukup lama (yaitu setelah umur 6 tahun), maka pengembangannya perlu disiasati dengan cara dikombinasikan dan diintegrasikan dengan tanaman unggul jangka pendek, yaitu SINGKONG (Manihot esculenta).
SINGKONG juga dapat menghasilkan biji yang mempunyai kualitas nutrisi sebanding dengan jagung dan beras, bahkan kandungan proteinnya lebih tinggi sedangkan kandungan lemaknya lebih rendah. Pemanfaatan biji SINGKONG menjadi berbagai produk pangan olahan merupakan salah satu upaya untuk mendukung diversifikasi pangan. Pemanfaatan SINGKONG dalam bentuk tepung lebih menguntungkan karena praktis serta mudah diolah menjadi berbagai produk makanan ringan (basah dan kering), kue, roti dan mie. Nilai nutrisi SINGKONG cukup memadai dengan kandungan protein 8-11 %, namun protein pembentuk glutennya tidak dapat menyamai terigu. Namun demikian tepung SINGKONG dapat mensubstitusikan terhadap tepung terigu antara 50 – 75 % untuk kue kering & kue basah, kue basah 30-50 %, Roti 20-25 % dan Mie 15-20 %.
Kalau Sapi mempunyai peran dalam memanfaatkan biomasa dari daun dan batang SINGKONG sebagai bahan pakan yang sangat bermutu. Sekaligus dari peternakan Sapi akan diperoleh sumber bahan pupuk yang sangat bermutu yaitu dari tinjanya maupun dari air urin Sapi. Dengan menggunakan teknologi pembuatan yang memadai maka tinja Sapi dan air urin Sapi akan menjadi Pupuk Organik yang sangat hebat dan sekaligus menjadi Obat Pestisida Nabati yang sangat hebat. (Mudah-mudahan ada kesempatan Penulis nanti untuk memaparkan Teknologi Pembuatan Pupuk Organik dan Pestisida Nabati ini).
Dengan demikian maka kebutuhan pupuk dan obat-obatan untuk kebun Aren dan kebun SINGKONG sudah bisa dicukupi dari pemanfaatan limbah ternak Sapi. Input sarana produksi dapat diminimalkan bahkan dapat dinihilkan. Inilah yang dimaksud dengan kemandirian Sistem Usaha Tani itu. Jadi sebisa-bisanya membuat sistem usaha tani itu minimal atau sama sekali tidak menggunakan input dari luar sistem. Tapi sebaliknya dari sistem usaha tani akan dihasilkan produk-produk pangan, pakan dan energi yang dibutuhkan oleh pasar dunia.
Tumpang Sari atau intercropping dari dua atau tiga jenis tanaman yaitu Aren dan SINGKONG pada lahan yang sama, akan membuat produktifitas lahan meningkat, dan akan terjadi saling komplementasi, saling substitusi pada sisi-sisi kelemahan yang terjadi pada masing-masing komoditi. Kombinasinya dengan Sapi akan membuat sinergi integrasi komoditi ini lebih efisien, lebih berdaya saing dan lebih mandiri.
Kenapa demikian? Karena yang akan dihasilkan dari sistem ini nanti adalah Produk-produk yang ramah lingkungan, karena hampir tidak ada bahan-bahan kimia yang berbahaya, semua produk yang dihasilkan serba organik. Tepung SINGKONGnya organik, gula Arennya juga organik, bioethanolnya juga organik, daging Sapinya organik, dan lain-lain produk yang dihasilkan dirancang menjadi produk yang akan diterima dimana saja serta mempunyai nilai lebih. Bukankah era yang akan datang ini adalah eranya produk-produk organik yang bermutu ? Karena dari makanan yang alami dengan mutu yang terjagalah kesehatan dan kualitas hidup manusia ini terjaga.
SINGKONG Manis ini dapat ditanam disela-sela kebun Aren yang baru dikembangkan, bahkan hingga pada saat Aren menjelang produksi nanti. Porsi luas penanaman SINGKONG pada lahan kebun Aren ditentukan oleh pemilihan jarak tanam Aren. Untuk keperluan tumpang sari dengan tanaman SINGKONG ini dapat dipilih beberapa alternatif jarak tanam untuk Aren. Salah satunya menggunakan pilihan jarak tanam 5 x 10 m2, dengan beberapa berbagai pertimbangan antara lain :
- Penghematan tenaga kerja penyadapan Nira
- Memberi ruang yang cukup bagi tanaman sela bahkan hingga tanaman Aren sudah mulai berproduksi (yaitu sekitar 30-40% dari lahan).
- Memberi kemudahan bagi proses pemeliharaan tanaman, pemungutan hasil panen dan sebagainya dengan kendaraan truk.
Porsi luas penanaman SINGKONG pada lahan kebun Aren dengan penggunaan pilihan jarak tanam 5 x 10 m2 atau dengan populasi 200 pohon per hektar dapat diproyeksikan sebagai berikut :
Tahun ke Perkiraan Luas Vegetasi Tanaman per hektar lahan
Aren SINGKONG
0 sampai 1 200 x 4m2 = 800m2 ( 8%) 9.200 m2 (92%)
1 sampai 2 200 x 6m2 = 1.200m2 (12%) 8.800 m2 (88%)
2 sampai 3 200 x 10m2 = 2.000m2 (20%) 8.000 m2 (80%)
3 sampai 4 200 x 16m2 = 3.200m2 (32%) 6.800 m2 (68%)
4 sampai 5 200 x 20m2 = 4.000m2 (40%) 6.000 m2 (60%)
5 sampai 6 200 x 25m2 = 5.000m2 (50%) 5.000 m2 (50%)
6 dst. 200 x 30m2 = 6.000m2 (60%) 4.000 m2 (40%)
Untuk memenuhi suply bahan baku Pabrik BioEthanol (PBE) tentu tanaman SINGKONG akan ditanam secara berjenjang, sehingga panennya dapat dilakukan berjenjang. Dengan kapasitas mesin PBE dengan nira batang SINGKONG 1000 liter/hari maka akan diperlukan batang SINGKONG sekitar 2,5 ton/hari yang dipanen dari lahan SINGKONG seluas misalnya 400 – 500 m2 atau 0,04 – 0,05 hektar per hari. (Menggunakan asumsi produksi batang SINGKONG 60 ton/ha/musim, dengan kandungan nira dari batang SINGKONG 40% berat). Artinya setiap hari akan dipanen SINGKONG seluas antara 0,04 – 0,05 hektar SINGKONG yang diperas batangnya untuk dijadikan Nira SINGKONG dan kemudian diolah menjadi Bioethanol.
Untuk bisa memanen Nira SINGKONG 1000 liter/hari dengan umur SINGKONG 110 hari berarti perlu lahan 110 hari x (0.04 -0.05) hektar/hari = (4,4 – 5,5) hektar. Sedangkan jika ingin memiliki Pabrik BioEthanol dengan kapasitas 1000 liter BE/hari, maka diperlukan Nira SINGKONG sekitar 12.500 liter Nira SINGKONG (Asumsi rendemen BE dari Nira SINGKONG adalah 8 %). Maka laha SINGKONG yang diperlukan adalah 12,5 x (4,4 - 5,5) hektar = (55 – 68) hektar.
Kalau pemanenan SINGKONG dilakukan setiap hari, berarti penanamannya juga dilakukan berjenjang. Yang dipanen bukan hanya batang SINGKONG, tapi juga biji dan daunnya. Dari Pabrik BioEthanol akan ada produk samping berupa bagase atau ampas batang SINGKONG. Ampas batang SINGKONG ini diperkirakan sejumlah sekitar 60% dari berat batangnya setelah diambil niranya. Ampas batang SINGKONG atau bagase ini sebenarnya masih bisa diolah menjadi Bioethanol, karena ia termasuk bahan-bahan Lignoselulosa, namun teknologi untuk pengolahan yang mudah dan praktis masih terus dikembangkan. Oleh karena itu dalam proyeksi kita ini ampas batang SINGKONG ini akan dijadikan sebagai pakan Sapi.
Sapi biasanya diberi pakan berupa rumput atau hijauan makanan ternak (HMT) lainnya dan suplemen pakan untuk menambah asupan protein, mineral serta minuman probiotik bagi pencernaan Sapi. Dari panen tanaman SINGKONG diperoleh daun, dari pemerasan batang SINGKONG diperoleh Bagase atau Ampas Batang SINGKONG, semuanya bisa dijadikan pakan bagi Sapi. Daun dan bagase dari SINGKONG ini merupakan bahan pakan yang lebih baik dari pada HMT lainnya, karena kandungan proteinnya yang lebih tinggi. Sehingga kalau diberikan ke Sapi maka memberikan pertumbuhan daging dan produktifitas daging yang lebih banyak.
Berapa keperluan pakan harian untuk Sapi? Sapi memerlukan HMT sekitar 10 % dari bobot badannya. Kalau dihitung rata-rata berat Sapi 250 kg per ekor berarti dibutuhkan pakan HMT sekitar 25 kg per ekor per hari. Dalam setiap hektar SINGKONG yang dipanen akan menghasilkan daun sekitar 40 ton/hektar/musim. Kalau mengikuti asumsi di atas, kita akan memanen 0,04 – 0,05 hektar SINGKONG, berarti akan memanen daun SINGKONG sebanyak 40 ton/hektar x 0,04 hektar/hari = 1,6 ton/hari atau 1.600 kg/hari. Berarti ada 64 ekor Sapi yang bisa dipelihara (1600 kg/hari : 25 kg/hari/ekor = 64 ekor), dengan 4,4 sampai 5,5 hektar. Berarti dalam setiap hitungan per hektar SINGKONG dapat dipelihara Sapi sejumlah maksimal 11 - 14 ekor, kita asumsikan saja sebanyak 10 ekor Sapi.
Kalau mengikuti kapasitas mesin PBE 1000 liter/hari, maka lahan SINGKONG yang ditanam sekitar 55 – 68 hektar, katakanlah 60 hektar, berarti dengan asumsi 10 ekor Sapi per hektar maka ternak Sapi yang bisa dipelihara ada 600 ekor. Jadi angka asumsi sementara dengan kapasitas PBE 1000 liter/hari, dengan sekitar 60 hektar SINGKONG dan ternak Sapi sekitar 600 ekor.
Sapi dalam hal ini memanfaatkan produk sampingan dari pada tanaman SINGKONG berupa daun dan bagase batang SINGKONG. Namun Sapi juga sekaligus akan menghasilkan bahan pangan berupa daging, menghasilkan juga bahan baku pupukdan bahan baku pestisida organik yang hebat, aneka enzime dan ZPT alami yang hebat bagi tanaman Aren dan SINGKONG sekaligus. Sinergi keterpaduan usaha antara Aren, SINGKONG dan ternak Sapi ini sangat meminimalkan input sarana produksi dari luar, dengan demikian akan berperan mengefisienkan biaya-biaya produksi untuk kebun Aren dan pertanaman SINGKONG. Dengan demikian produk-produk yang dihasilkan, yaitu Gula Aren, Bioethanol, dan produk turunan lainnya akan dapat berdayasaing karena sistem usahanya sangat efisien.
BAgaimana menurut Anda ?