Selasa, 30 Desember 2014
Swasembada Pangan Masih Sebatas Impian?
Jakarta, (Antarariau.com)
Di awal masa pemerintahannya, Presiden RI Joko Widodo memprogramkan untuk meraih kembali swasembada pangan, yang dulu pernah dicapai pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto.
Bahkan, pemerintahan Jokowi-JK menargetkan akan mencapai swasembada pangan dalam waktu tiga tahun.
Sepertinya Presiden tidak ingin main-main dengan target swasembada pangan tersebut, terlebih lagi swasembada pangan merupakan manivestasi dari visi ketujuh pemerintah Jokowi-JK yang tertuang dalam Program Nawacita.
Salah satu yang tertuang dalam Nawacita tersebut, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi nasional dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, salah satunya sektor pertanian melalui upaya membangun dan mewujudkan kedaulatan pangan.
Menurut Jokowi, Indonesia harus sudah bisa mandiri atau swasembada pangan dalam tiga tahun. "Tidak boleh ditawar," ujarnya.
Sejumlah komoditas pangan utama yang menjadi target swasembada, yakni padi, jagung, dan kedelai terjadi 1--3 tahun ke depan. Menteri Pertanian Amran Sulaiman menuturkan bahwa pemerintah telah membuat target untuk masing-masing komoditas tersebut.
Untuk padi agar bisa mencapai swasembada, menurut dia, produksi harus mencapai 73 juta ton. "Insya Allah, pada tahun 2015, Departemen Pertanian menargetkan 73 juta ton dan jagung rencananya ditargetkan 20 juta ton pada tahun 2016," katanya.
Kendati demikian, untuk mencapai swasembada kedelai, Mentan mengakui hal itu agak berat. "Insya Allah tiga tahun baru kita mencapai swasembada (kedelai)," kata Amran di Kantor Wapres, Jakarta, Senin (15/12).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013, disebutkan bahwa produksi padi sebesar 71,28 juta ton gabah kering giling (GKG) atau mengalami kenaikan sebesar 2,22 juta ton, atau sebesar 3,22 persen jika dibandingkan pada tahun 2012.
Sementara itu, untuk produksi padi pada tahun 2014 (ARAM I) diperkirakan sebesar 69,87 juta ton GKG atau mengalami penurunan sebesar 1,41 juta ton atau 1,98 persen dibandingkan pada tahun 2013.
Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas 265.310 hektare atau sekitar 1,92 persen dan produktivitas sebesar 0,03 kuintal per hektare atau sebesar 0,06 persen.
Melihat target yang tidak ringan tersebut, pemerintah pun segera melakukan berbagai langkah, antara lain menyelesaikan berbagai kendala yang dinilai akan menghambat pencapaian swasembada pangan dalam tiga tahun mendatang.
Berbagai persoalan mendasar tersebut, menurut Mentan Amran Sulaiman, yakni rusaknya saluran irigasi hampir di seluruh wilayah Indonesia, penyaluran pupuk dan benih, ketersediaan alat dan mesin pertanian (alsintan), serta keberadaan penyuluh pertanian yang dinilai masih sangat minim.
Terkait dengan rusaknya saluran irigasi, Amran mengatakan bahwa kerusakan pada saluran irigasi, baik primer, sekunder, maupun tersier tersebut, kurang lebih 52 persen saluran irigasi yang ada di Indonesia. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini, belum pernah ada perbaikan.
"Presiden telah mengeluarkan Perpres Nomor 172 Tahun 2014, dan saluran irigasi pada tahun 2015 akan kami perbaiki, kurang lebih untuk satu juta hektare di seluruh Indonesia. Kami akan perbaiki secara bertahap," ujarnya.
Mengenai persoalan pupuk, Mentan mengatakan bahwa hal itu terkait dengan distribusi di lapangan dan terkadang tidak cukup. Sementara itu, serapan benih pada tahun 2014 hanya 20 persen sehingga membuat produksi petani mengalami penurunan.
Terkait dengan permasalahan tersebut, Kementerian Pertanian akan memberikan pupuk gratis sebanyak 57.000 ton, dan bantuan benih gratis untuk lima juta hektare sawah di seluruh Indonesia.
Saat ini, pemerintah telah menyiapkan dana sebesar Rp28 triliun untuk subsidi pupuk senilai dengan 9,5 juta ton pupuk dan Rp2 triliun pada benih. Bantuan dana subsidi ini dimaksudkan untuk menggenjot terwujudnya swasembada pangan di Indonesia.
Arman mengatakan bahwa alokasi anggaran tersebut sudah masuk dalam APBN Perubahan 2015 yang akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Untuk alat pertanian, Kementerian Pertanian berencana memberikan sebanyak 61.000 unit.
Terkait dengan kekurangan penyuluh sebanyak 21.000 orang, Mentan telah melakukan MoU dengan TNI. Dalam hal ini akan ada kerja sama dengan Babinsa seluruh Indonesia yang saat ini jumlahnya sekitar 52.000 orang dan juga dengan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL).
Langkah lain yang telah diambil Kementerian Pertanian adalah dengan direalisasikannya dana kontingensi kurang lebih Rp600 miliar. Dana tersebut disalurkan menjadi traktor untuk para petani di Indonesia.
"Traktornya telah diterima 100 persen di 14 provinsi. Selain itu, kami melakukan refocusing anggaran yang rencananya diperuntukkan bagi bangunan pada tahun 2015. Akan tetapi, kami alihkan untuk pertanian sebesar Rp4,1 triliun, sementara pada RAPBN-P 2015 kami usulkan Rp20 triliun," ujar Amran.
Sementara itu, khusus padi, Mentan menyatakan untuk mencapai swasembada pangan dalam waktu tiga tahun mendatang, pihaknya mendorong peningkatan produksi sebesar 11 juta ton pada tahun 2015 dari wilayah-wilayah penghasil padi di Indonesia.
Ia menyatakan para gubernur telah mendukung rencana swasembada. Mereka berjanji akan meningkatkan produksi dengan total keseluruhan 11 juta ton. Beberapa wilayah yang akan meningkatkan produksi padi, antara lain Jawa barat dan Jawa Timur yang menyanggupi kenaikan sebesar dua juta ton, sementara untuk Jawa Tengah sebanyak 1,5 juta ton, serta Sumatera Barat dan Sumatera Utara masing-masing satu juta ton.
"Seluruhnya 11 juta ton. Jika separuhnya terpenuhi, swasembada bisa tercapai," ujar Amran.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan para insinyur Indonesia turun ke lapangan untuk memberikan bimbingan kepada petani. Menurut dia, untuk mencapai target swasembada pangan dalam tiga tahun, para insinyur harus proaktif memberikan penyuluhan kepada petani.
"Insinyur-insinyur pertanian kita jangan di belakang meja, harus kembali ke lapangan, berikan bimbingan kepada petani-petani kita," ujarnya saat acara "Penghargaan Adikarya Pangan Nusantara 2014" di Kecamatan Sukamandi, Subang, Jawa Barat, Jumat (26/12).
Selain itu, Jokowi meminta para kepala daerah dan menteri pembantunya untuk bekerja keras mewujudkan swasembada pangan ini. Jika tidak, dia mengancam untuk tidak segan-segan memecatnya.
Penunjukan Langsung
Sementara itu, pemerintah mengeluarkan surat edaran agar penunjukan pengadaan bibit dan perbaikan tersier atau perbaikan saluran irigasi takperlu lagi melalui sistem tender. Surat edaran itu untuk menunjang swasembada pangan yang direncanakan pemerintah terwujud satu atau dua tahun ke depan.
Surat edaran itu ditandatangani oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljo, Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Mardiasmo, Wakapolri Komjen Pol. Badrodin Haiti, dan Jaksa Agung H.M. Prasetyo.
Bila dilakukan tender, menurut Jusuf Kalla, memakan waktu 45 hari. Selain itu, dari pengalaman dua tahun lalu, proses tender melahirkan mafia pangan dan menghambat swasembada pangan.
Wapres juga menuturkan bahwa keterlibatan Polri dan Kejaksaan Agung guna memberi kepastian payung hukum bahwa penunjukan langsung tak menyalahi aturan.
Untuk penyaluran pupuk bersubsidi ada tiga BUMN yang sudah ditunjuk pemerintah, yaitu PT Sang Hyang Seri, PT Pupuk, dan PT Pertani.
Terkait dengan harga bibit, karena penunjukan langsung, pemerintah yang menentukan harga tersebut. Pihak yang berwenang menentukan adalah Kementerian Pertanian bersama Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Mereka mengaku telah terjun ke 13 provinsi.
"Harga disesuaikan di wilayah masing-masing," kata Mentan.
Keterbatasan Lahan
Pengamat pertanian Khudori menilai Indonesia sampai saat ini masih sulit untuk mencapai swasembada pangan. Hal itu disebabkan relatif banyaknya perang komoditas di lahan yang terbatas. Saat ini terdapat 18 komoditas nasional yang terus digenjot produktivitasnya oleh pemerintah, sedangkan lahan pertanian tidak mengalami penambahan.
Menurut dia, pemerintah harus lebih peka lagi terhadap upaya-upaya pencapaian swasembada pangan itu sendiri. Pasalnya, kemampuan pemerintah dalam membuka lahan baru di Indonesia untuk saat ini sangat terbatas.
Selain itu, mengenai infrastruktur seperti irigasi juga menyebabkan Indonesia sulit capai swasembada pangan.
"Irigasi yang menjamin ketersediaan air apakah pada saat kemarau maupun hujan. Kalau hujan, petani tetap bisa tanam. Akan tetapi, kan yang terjadi kan dua-duanya menjadi masalah," katanya.
Ketua Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir memandang perlu peraturan untuk meredam alih fungsi lahan pertanian. Ia menceritakan lahan produktif di Jawa yang kian menyusut. Sekarang ini luasnya sekitar 3,5 juta hektare karena berkurang 600.000 hektare dibandingkan tahun lalu.
"Di Jawa, alih fungsi lahan paling banyak terjadi di Jawa Barat. Kebanyakan alih fungsi lahan pertanian ini digunakan untuk perumahan," katanya.
Menteri Pertanian Kabinet Indonesia Bersatu II Suswono menyebutkan ada beberapa prasyarat yang memang harus dipenuhi untuk bisa mencapai swasembada. Pertama, ketersediaan lahan, bahwa untuk menambah produksi untuk tebu saja misalnya untuk swasembada gula paling tidak minimal 350.000 hektare, untuk kedelai paling tidak minimal 500.000 hektare.
Direktur lembaga kajian ekonomi, INDEF, Enny Sri Hartati berpendapat bahwa lemahnya koordinasi antarkementerian dan lembaga dalam pemerintahan saat ini mengakibatkan tidak tercapainya swasembada selama ini.
Kementerian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan lembaga terkait lainnya, kata dia, harus punya kemauan politik meningkatkan pertanian di dalam negeri. Ia mengingatkan, selain mampu menjaga ketahanan pangan, sektor pertanian yang dikelola dengan baik akan menciptakan lapangan kerja, menekan angka kemiskinan hingga pada akhirnya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
"Memang betapa mahalnya koordiansi yang ada di negara yang namanya NKRI walaupun di sana ada kebijakan otonomi daerah, bahkan antarsektor mestinya enggak ada egosektoral dan egoregional. Nah, ini yang harus didesain menyelesaikan persoalan itu," ujar Enny.
Sementara itu, Sekjen Petani Nasdem Syaiful Bahri menyatakan minimnya akses ini adalah problem serius di dalam isu pertanian. Kepemilikan lahan yang hanya 0,25 hektare/KK Petani dari 45 juta KK petani, dari total 6.000.000 hektare lahan pertanian.
Menurut dia, pertanian modern bukan berarti menggantikan pertanian rakyat dengan "rice estate" atau pembukaan lahan secara besar-besaran untuk ditanam satu macam komoditas, dalam hal ini padi.
"Lebih baik akses tanah-tanah telantar yang dimiliki oleh negara diberikan kepada petani untuk menggarap," tuturnya.
Target pemerintahan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono untuk mencapai swasembada pangan pada tahun 2014, ternyata tidak terwujud. Kini, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mencanangkan kembali program tersebut sebagai agenda besar.
Akankah pemerintahan kali ini mampu mewujudkannya dalam tiga tahun ke depan sesuai dengan targetnya, atau untuk kesekian kalinya swasembada pangan tetap sebatas mimpi bangsa Indonesia.
Sumber berita: www.antarariau.com
Sumber : http://www.tepungmocaf.com/2014/12/swasembada-pangan-masih-sebatas-impian.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar