..Ibadah qurban itu berarti perlu disiapkan dengan beternak yg baik !

Senin, 08 April 2013

Menghitung Untung Beternak Sapi

Menghitung Untung Beternak Sapi

 Harga daging sapi tahun ini diperkirakan naik karena permintaan yang meningkat. Kondisi pasar ini merupakan peluang usaha untuk beternak sapi.

Bagaimana hitung-hitungan keuntungan beternak sapi?

Konsumsi daging sapi Indonesia tahun ini diperkirakan naik menjadi 487 ribu ton. Pada tahun-tahun sebelumnya, saat konsumsi daging sapi masih 385.035 ton, impor sapi Indonesia bisa mencapai 600 ribu ekor. Asosiasi Pengimpor Daging Sapi (Aspidi) memperkirakan impor daging sapi (khusus daging) tahun 2011 meningkat menjadi sekitar 112-113 ribu ton. Angka impor itu naik bila dibanding impor tahun 2010 yakni 110 ribu ton.

Peluang pasar sapi tersebut menjadi peluang besar bagi usaha ternak sapi di Indonesia. Kendala utama untuk meningkatkan pemilikan ternak sapi adalah permodalan. Sujatmono Toni, pengelola Bogor Agro Lestari Farm di Bogor, Jawa Barat mengatakan untuk bisa meningkatkan pemilikan populasi ternak bisa dilakukan dengan mengakses modal dari perbankan.

Beberapa skim kredit bisa dimanfaatkan para peternak, di antaranya adalah Kredit Ketahanan Pangan – Energi (KKP-E), Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). Agar petani bisa mengakses skim kredit tersebut diperlukan pendampingan. Dengan cara ini Sujatmono Toni bisa mengkaseskan modal kredit untuk peternak dari perbankan sebesar Rp 9,35 miliar. (Baca juga: Cara Mengakses Modal untuk Beternak Sapi).

Namun untungkah usaha beternak sapi? Menurut hitung-hitungan Bogor Agro Lestari usaha ternak sapi cukup memberikan keuntungan. Untuk usaha penggemukan selama 6 bulan ternak sapi Limosin/ Simental dengan modal sekitar Rp 50 juta (4 ekor sapi) bisa diperoleh pendapatan sekitar 61,5 juta. Jadi untungnya sekitar Rp 11,5 juta atau sekitar Rp 2 juta per bulan. (Lihat: Analisa Usaha Penggemukan Sapi Limosin/ Simental).

Kalau yang digemukkan sapi jenis Peranakan Ongol (PO) keuntungannya lebih besar. Dengan modal Rp 50 juta untuk 4 ekor sapi, setelah digemukkan selama 6 bulan, diperoleh pendapatan sekitar Rp 75 juta. Jadi untungnya sekitar Rp 25 juta atau Rp 4 juta per bulan. (Baca: Analisa Usaha Penggemukan Sapi PO).

Lebih besar lagi untungnya bila peternak bisa mengusahakan sapi perah. Untuk satu ekor sapi perah bunting saja bisa diperoleh banyak pendapatan. Ada pendapatan harian dari susu yang diperah sekitar Rp 900 ribu/ bulan, ada pendapatan dari penjualan pedet (Rp 2 juta) dan ada penerimaan akhir siklus usaha (sapi afkir) Rp 9 juta. (@)

Sumber : http://capilgunung.blogspot.com/2011/01/menghitung-untung-beternak-sapi.html

Saatnya mengganti Buah Impor dengan Buah Asli Indonesia

Meninggalkan Eksotisme, Menuju Kekuatan Tropikal

Manufacturing Hope 64
Ketika buah impor dari RRT membanjiri pasar Indonesia, apa yang harus kita perbuat? Mencegah saja dengan cara melarang atau mengenakan bea masuk yang tinggi tentu tidak cukup. Apalagi, ada ketentuan internasional yang tidak sembarangan bisa dilanggar.

Mengimbau agar tidak menyajikan buah impor memang baik, tapi juga belum cukup. Bersumpah untuk tidak makan buah impor seperti yang dilakukan dengan gagah berani oleh bupati Kulonprogo yang dokter itu memang heroik, tapi juga masih perlu jutaan hero lainnya.

Apa yang bisa dilakukan BUMN? Sebagai korporasi besar, BUMN bisa membantu banyak. Melalui aksi-aksi korporasi yang nyata. Misalnya terjun ke agrobuah secara besar-besaran dengan pendekatan korporasi.

Indonesia sebenarnya tidak perlu bersaing frontal dengan Tiongkok. Terutama di bidang buah. Dua negara besar itu bisa ambil posisi saling isi dan saling melengkapi. Tiongkok dengan empat musimnya memiliki kelemahan pokok: tidak mungkin bisa memproduksi buah tropis. Sebaliknya, Indonesia, negara tropis yang terbesar di dunia, bisa menghasilkan buah tropis seberapa banyak pun.

Maka, ketika Indonesia menjadi pasar buah impor dari Tiongkok, pada dasarnya yang masuk ke Indonesia adalah sebatas buah nontropis: apel, anggur, jeruk, pir, dan seterusnya. Seharusnya kita juga bisa menjadikan Tiongkok sebagai pasar yang besar untuk buah-buah tropis dari Indonesia: pisang, manggis, durian, avokad, dan seterusnya. Tiongkok tidak mampu menghasilkan jenis buah-buah tersebut.

Sayangnya, kita hanya bisa marah melihat kenyataan membanjirnya buah impor. Padahal, sebenarnya kita bisa berbuat banyak tanpa harus marah.

Kadang kita sudah sangat bangga dengan menyebutkan bahwa kita memiliki kekayaan buah-buah tropis yang eksotis. Gelar eksotis itu memang memabukkan, tapi juga membelenggu. Dengan gelar eksotis, berarti kita akan mempertahankan jumlahnya yang terbatas. Ibarat menjual daerah wisata, ini adalah wisata penyelaman. Menarik, tapi terbatas. Tidak bisa masal.

Maka, memasalkan buah tropis adalah kunci penting untuk bisa membalas menyerbu Tiongkok. Kita tidak bisa menyerbu Tiongkok dengan gelar eksotis itu.

Suatu saat saya mengunjungi pasar induk yang raksasa di Guangzhou. Saya masuk ke zona buah-buahan di pasar induk itu. Saya mencari di blok mana ada manggis. Saya mengelilingi berblok-blok pasar induk itu. Saya mengamati ratusan kontainer yang penuh berbagai buah Thailand di situ. Saya tidak menemukan manggis dan buah dari Indonesia lainnya.

Setelah berjam-jam di situ, saya baru menemukan manggis yang hampir saja tidak kelihatan karena hanya satu peti kayu kecil. Saya bolak-balik peti itu. Betul. Manggis Indonesia. Saya temukan pengirimnya: Denpasar, Bali.

Saya juga sudah mengunjungi pasar induk di Qingdao, Shandong. Juga di Tianjin. Sama. Tidak ada buah tropis dari Indonesia.

Pengalaman itu terus terbayang memenuhi pikiran saya. Maka, ketika saya diangkat menjadi menteri BUMN, saya terus memikirkan apa yang bisa diperbuat. Sampai suatu ketika saya mendapat tamu istimewa: Rektor IPB Prof Dr Herry Suhardiyanto MSc dan serombongan doktor dari kampus di Bogor itu.

Pak Rektor mengajukan ide buah tropis. Wow! Ini dia! Tumbu ketemu tutup!
Langsung saya ceritakan pengalaman saya itu. Hari itu juga keputusan diambil: BUMN bekerja sama dengan IPB mengembangkan buah tropis besar-besaran.

Ahli-ahli IPB dan Kepala Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB Prof Dr Ir Sobir MSi menyusun konsep ilmiah dan kajian pelaksanaannya. Termasuk memilih buah tropis apa saja yang akan dikembangkan.

Saya minta fokus saja pada tiga atau empat jenis buah dulu. Jangan menanam semua jenis sehingga kehilangan fokus.
Setelah tiga kali pertemuan, disepakati mengembangkan tiga jenis dulu: manggis, durian, dan pisang. IPB sudah memiliki ahli manggis yang cukup kuat di bawah koordinasi Dr Ir Sobir. Tim Dr Sobir itu sudah menyiapkan jenis-jenis manggis unggulan. Juga durian unggulan.

Tahun ini juga pengembangan buah tropis berbasis korporasi itu harus sudah dimulai. Lokasi awalnya di Jawa Barat di bawah PTPN VIII. Saat tim IPB menyiapkan kajian, direksi PTPN VIII di bawah pimpinan Dirut-nya, Ir Dadi Sunardi, menyiapkan lahannya.

Penanaman buah tropis itu tidak akan tanggung-tanggung. Tanaman manggisnya akan mencapai 3.000 hektare (ha). Duriannya juga 3.000 ha. Pisangnya kurang lebih sama.
Kalau program itu nanti berhasil, inilah perkebunan khas Indonesia, konsep Indonesia, dan untuk kepentingan Indonesia. Semua perkebunan yang ada selama ini adalah konsep Belanda, oleh Belanda, dan untuk Belanda: teh, gula, sawit, karet, tembakau na-oogst. Belanda tidak mewariskan perkebunan buah tropis untuk kita.

Kian tahun perkebunan buah tropis tersebut harus kian besar. Juga kian luas jangkauannya. Mulai Medan sampai Papua. Dengan demikian, pasokannya kian panjang.

Menurut ahli dari IPB, ketika wilayah Medan memasuki masa panen, kebun di Sumsel baru berbuah dan kebun di Jawa baru berbunga. Medan habis panen, Sulawesi baru kuncup. Begitulah. Berputar hampir sepanjang tahun. Panjangnya wilayah Indonesia bisa membuat masa panennya pun panjang.
Teman-teman di PTPN VIII kini lagi kerja keras menyiapkan sebuah perubahan besar. Dari hanya mengelola teh dan karet, kini harus ahli juga menanam manggis, durian, dan pisang.

Bagi IPB, ini juga bersejarah! Menemukan model dan jenis perkebunan khas Indonesia demi Indonesia! Karena itu, IPB akan me-launching program itu dalam sebuah acara besar di Bogor.
Saatnya negara tropis memiliki kekuatan buah tropikalnya! Lupakan kebanggaan eksotisnya! Nikmati kekuatan serbunya! (*)

Dahlan Iskan, Menteri BUMN

Sumber : http://dahlaniskan.wordpress.com/2013/02/11/meninggalkan-eksotisme-menuju-kekuatan-tropikal/

Jurus Sapi dari Pak Dahlan Iskan

Problem Pedet di Lobi Hotel


Manufacturing Hope 67

Harga jual pedet (anak sapi) Rp 5 juta per ekor. Untuk menghasilkan satu pedet, seorang peternak menghabiskan uang Rp 9 juta.

Jelaslah: Mana ada petani yang mau memproduksi pedet. Kalau toh di desa-desa kini masih ada orang yang memelihara sapi, itu karena mereka tidak menghitung biaya pakan dan biaya tenaga kerja.
Dua tahun lamanya menghasilkan satu pedet. Dua tahun lamanya petani bekerja mencari rumput serta menjaga dan memandikan sapi, hasilnya sebuah kerugian Rp 4 juta per pedet.

Itulah akar paling dalam mengapa kita kekurangan sapi dan akhirnya harus impor daging sapi setiap tahun. Kesimpulan itu saya peroleh ketika saya mengundang profesor dan ahli peternakan dari berbagai perguruan tinggi pekan lalu: UGM, Undip, Unsoed, Unhas, Universitas Jambi, dan Universitas Udayana. Juga pakar dari LIPI.

Di forum itu juga saya undang praktisi peternak sapi, lembaga-lembaga riset, dan pejabat Kementerian Pertanian. Dengan kesimpulan itu, saya harus mengakui bahwa program yang saya canangkan tahun lalu belum menjadi senjata pamungkas untuk mengatasi kekurangan daging sapi. Tapi, tanpa program itu, saya tidak akan bisa belajar banyak mengenai inti persoalan selama ini.
Orang memang perlu kebentur tebing untuk bisa belajar yang mendasar. BUMN benar-benar kebentur tebing ketika mencanangkan program Sasa (sapi-sawit) tahun lalu.

Waktu itu saya setengah memaksa agar perusahaan-perusahaan perkebunan sawit milik BUMN ikut memelihara sapi. Membantu program Kementerian Pertanian. Saya minta setidaknya 100.000 sapi digemukkan di perkebunan sawit di Sumatera.

Selama ini, yang saya tahu, peternak sapi kurang bergairah karena harga pakan yang mahal. Problem makanan ternak yang mahal itu teratasi di perkebunan sawit karena sapi bisa diberi makan daun sawit. Gratis.
Setelah program Sasa itu mulai dijalankan, barulah ketahuan: Ada problem yang lebih mendasar. Sulit mencari pedet yang akan digemukkan di kebun-kebun sawit itu.

Semula saya mengira teman-teman BUMN perkebunan merasa setengah hati. Merasa dipaksa. Merasa diberi beban tambahan. Tapi, saya tidak peduli dengan perasaan itu. Yang jelas, saya kecewa, mengapa program 100.000 sapi itu hanya mencapai 20.000.

Tapi, saya harus realistis. Ternyata bukan karena mereka setengah hati. Ternyata karena tidak mudah mencari anak sapi. Membeli 100.000 pedet, biarpun punya uang, ibarat mencari penari gangnam di kalangan penari dangdut.

Bahkan, membeli hanya 20.000 pedet itu pun sudah dianggap mengguncangkan. Harga pasar pedet naik. Peternak kecil yang berbisnis penggemukan sapi merasa dirugikan.

Maka para ahli yang hadir dalam diskusi itu; di antaranya Prof Syamsuddin Hasan (Unhas); Prof Damriyasa (Udayana); Prof Priyo Bintoro dan Prof Sunarso (Undip); Prof Ali Agus (UGM); Dr Ahmad Shodiq (Unsoed); Dr Saitul Fakhri (Universitas Jambi); serta Dr Bess Tiesnamurti, Prof Syamsul Bahri, Prof Kusuma Dwiyanto, dan Ir Abu Bakar (keempatnya dari Kementan); sepakat minta BUMN tidak hanya fokus menggemukkan sapi, tapi juga memproduksi pedet.
Para praktisi peternakan sapi dari berbagai daerah yang hadir juga menyuarakan hal sama. Yang diharapkan bukan BUMN yang membeli pedet peternak, tapi peternak membeli pedet dari BUMN.

Memang juga banyak data yang dipersoalkan hari itu. Terutama data jumlah sapi yang selama ini dianggap benar: 14 juta. Kalau angka itu benar, mestinya impor daging tidak diperlukan lagi.
Demikian juga data produksi dan penyaluran sperma beku untuk perkawinan/pembuahan buatan. Kalau benar data yang terpublikasikan selama ini, mestinya tidak akan kekurangan pedet. Kalaupun perkawinan buatan itu hanya berhasil 60 persennya (teorinya sampai 80 persen), mestinya ada 1,5 juta pedet yang lahir setiap tahun.

Dari diskusi yang intensif tersebut, BUMN harus mau bekerja lebih keras, lebih njelimet, lebih mendasar, dan lebih susah: memproduksi pedet dari kebun-kebun sawit. Dengan menggunakan daun sawit yang gratis, biaya “membuat” satu pedet yang mestinya Rp 9 juta per ekor itu bisa ditekan menjadi Rp 4 juta per ekor.

BUMN juga harus lebih sabar. Kalau menggemukkan sapi sudah bisa menjualnya enam bulan kemudian, memproduksi pedet baru bisa menghasilkan setelah dua tahun.
Ternyata begitu sulit mengurus sapi. Lebih enak kalau tinggal makan dagingnya.

Lebih enak lagi kalau tanpa susah-susah bisa dapat komisi Rp 5.000 per kg daging yang diimpor!
Tidak perlu susah, tidak perlu mencium bau sapi, tidak perlu mencari rumput, tidak perlu mikir. Cukup dengan bekerja di lobi hotel dan di kamar hotel, hasilnya langsung nyata!

“Peternak lobi hotel” seperti itu akan terus tumbuh subur. Impor daging sangat menguntungkan. Harga daging di luar negeri sangat murah. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pernah mengatakan, harga daging di Singapura hanya Rp 45.000 per kg. Bandingkan dengan harga di Jakarta yang Rp 90.000 per kg. Padahal, daging di Singapura itu juga daging impor.

Proses perizinan untuk suatu perdagangan yang menghasilkan laba yang begitu besar tentu tidak sehat. Karena itu, dalam diskusi tersebut kembali dibicarakan ide Dirut PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) Ismed Hasan Putro ini: Perusahaan yang diberi izin impor daging harus menggunakan sebagian labanya untuk memproduksi pedet di dalam negeri. Entah dengan impor pedet atau impor sapi betina produktif.

Atau dibalik: Perusahaan-perusahaan/koperasi /kelompok tani yang selama ini “berkorban” rugi Rp 4 juta per pedet itulah yang diberi izin untuk impor daging!
Setiap persoalan ada jalan keluarnya. Setiap masalah ada hikmahnya. Tapi, beternak sapi di lobi hotel jelas melanggar sunnatullah yang nyata! (*)

Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Sumber : http://dahlaniskan.wordpress.com/2013/03/04/problem-pedet-di-lobi-hotel/

Selasa, 02 April 2013

Peluang Agribisnis Sapi di Kabupaten Nunukan



 



Peluang Agribisnis Sapi di Kabupaten Nunukan


Sapi merupakan komoditas unggulan sektor peternakan yang akhir-akhir ini marak dibicarakan terutama yang berhubugan dengan importasi daging sapi. Importasi daging sapi yang marak dengan praktek-praktek kecurangan telah menimbulkan efek domino di masyarakat seperti terjadinya kelangkaan daging sapi hingga melonjaknya harga-harga makanan yang menggunakan produk daging sapi. Hal ini secara langsung berdampak pada pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa importasi masih menjadi upaya yang efektif untuk memenuhi kebutuhan daging sapi? Untuk menjawab hal tersebut perlu adanya sinergi antara para pemangku kebijakan dalam memecahkan persoalan kebutuhan daging sapi. 

Kabupaten Nunukan sendiri secara faktual menunjukkan adanya trend peningkatan konsumsi daging sapi yang setiap tahun semakin meningkat seiring akibat adanya pertambahan jumlah penduduk serta  adanya peningkatan pendapatan masyarakat. Kondisi ini perlu diantisipasi sejak dini dalam memenuhi permintaan daging sapi masyarakat Kabupaaten Nunukan. Saat ini, suplai daging lokal belum mampu memenuhi permintaan pasar lokal sehingga tidak dipungkiri masih banyaknya beredar daging beku dari Malaysia. Mengapa daging beku Malaysia banyak diperjualbelikan? Hal ini tentunya berkaitan dengan hukum ekonomi dimana pasar menuntut adanya stok sehingga yang terdekat menjadi sumber daging meskipun secara teknis kondisi daging yang dari Malaysia masih diragukan keamanan dan kehalalannya.

Dengan berkaca pada kondisi diatas, tentunya kita tidak ingin daging dari Malaysia yang tidak jelas terus menerus dikonsumsi masyarakat Nunukan. Kita menginginkan agar masyarakat mengkonsumsi daging segar yang terjamin dari segi ASUH (aman, sehat, utuh dan halal). Bagaimana upaya ideal yang perlu dilakukan untuk mendapatkan daging ASUH? Tentunya berasal dari sapi-sapi yang sehat dan melalui proses pemotongan sesuai syariat islam.

Yang menjadi permasalahan di Kabupaten Nunukan adalah bagaimana mendapatkan sapi-sapi dalam jumlah tertentu untuk memenuhi kebutuhan daging sapi warga Nunukan. Tulisan ini mencoba memberikan alternatif bagi para pemangku kebijakan agar dapat duduk bersama dapat memberikan solusi terhadap permasalahan diatas.

Ada alternatif sederhana yang sudah berjalan di beberapa daerah di Indonesia sehubungan dengan peningkatan populasi sapi. Kabupaten Nunukan menurut data Bappeda tahun 2010, memiliki luas areal perkebunan kelapa sawit seluas 59.262 ha yang tersebar di beberapa kecataman. Perkebunan kelapa sawit memiliki modal utama yaitu lahan yang luas dan limbah yang dapat menjadi bahan pakan sapi.

Pembangunan peternakan tidak terlepas dari kebutuhan lahan terutama untuk sumber hijauan makanan ternak. Penulis mengamati bahwa lahan yang ada lebih ekonomis dijadikan kebun kelapa sawit dibandingkan dijadikan lahan hijauan makanan ternak (HMT). Hal ini sangat realistis, untuk itu perlu ada perubahan pola pikir pemilik perkebunan kelapa sawit menuju pola integrasi sapi dan kelapa sawit.

Pola integrasi sapi-sawit memberikan keuntungan timbal balik antara sapi dan sawit. Sawit mendapatkan pupuk organik dari kotoran sapi dan sapi mendapatkan pakan dari limbah sawit. Perkebunan kelapa sawit seluas 59.262 ha yang ada di Kabupaten Nunukan merupakan potensi yang sangat besar dalam pengembangan ternak sapi. Kita bayangkan jika 1 ha lahan sawit dikembangkan 1 ekor sapi, maka terdapat 59.262 ekor sapi. Kebutuhan daging sapi di Kota Nunukan bila dikonversi dalam bentuk sapi, per hari memerlukan  sekitar 7-8 ekor sapi.  Dengan demikian bila perkebunan sawit bisa mengintegrasikan lahannnya dengan peternakan sapi maka persediaan sapi untuk Nunukan dapat menyuplai hingga 20 tahun lamanya. 

Pola integrasi ini lebih realistis dibandingkan menunggu kemampuan produksi peternak yang hanya membudidayakan sapi dengan pola-pola sederhana karena sapi masih menjadi “second job” bagi petani kita. Sapi hanya dianggap komoditas yang menjadi jalan keluar untuk hal-hal tertetu seperti untuk dijual sebagai biaya sekolah anak atau untuk sapi qurban saja. Sapi tidak diliat sebagai komoditas bisnis yang menjanjikan penghasilan seperti yang dilakukan petani di Pulau Jawa. Secara tekni,s sapi khususnya sapi Bali dapat mengalami pertambahan berat badan harian ideal antara 0,5-0,8 kg/hari bila diternakkan dengan baik sehingga dalam sebulan bisa mencapai kenaikan berat badan 24-28 kg. Sapi Bali dengan bobot 120-150 kg di Nunukan dihargai sekitar 7-8 jt, bukankah hal ini merupakan peluang bisnis?saatnya kita makan daging segar yang ASUH.

 
By : Drh. Muh. Rais Kahar (Kasi Keswan dan Kesmavet  Dipsertanak Nunukan) 
HP : 081342143866

DILEMA PETERNAK AYAM POTONG DI NUNUKAN



 




DILEMA PETERNAK AYAM POTONG DI NUNUKAN
Oleh :  Drh. Muh. Rais Kahar *)


Perkembangan peternakan broiler (ayam potong) di Kabupaten Nunukan saat ini mengalami kondisi stagnan dan cenderung mengalami kemunduran yang diakibatkan melonjaknya harga sarana produksi peternakan (sapronak) dan tata niaga daging ayam di pasar yang tidak jelas mengakibatkan peternak ayam potong banyak yang memilih mengosongkan kandang ketimbang harus merugi.

Potensi peternakan ayam potong di Kabupaten Nunukan sebenarnya sungguh besar, berdasarkan pantauan dan pengamatan penulis, kapasitas tampung kandang yang dimiliki peternak di Kota Nunukan mencapai 87.800 ekor. Kenyataannya saat ini, kandang yang terisi hanya 20-25% dari kapasitas kandang yang ada. Di sisi lain, permintaan daging ayam di Kota Nunukan  semakin meningkat. Berdasarkan pemantauan kami, jumlah daging ayam yang diperrdagangkan di Kota Nunukan dalam sebulan mencapai 94.500 kg. Jumlah ini ekuivalen 47.250 ekor ayam hidup dengan bobot panen 2,5 kg. 

Permintaan daging ayam dengan jumlah ini hanya berlaku pada hari-hari biasa, berbeda dengan permintaan pada hari-hari besar yang biasanya mengalami peningkatan sebesar 20-25%. Yang menjadi ironi di kota Nunukan yaitu tingginya permintaan pasar akan daging ayam tetapi kemampuan lokal peternak tidak mampu memenuhinya. Mengapa demikian? Selain tingginya harga sapronak, penyebab lain mengapa peternak setengah hati mengembangkan usahanya yaitu adanya serbuan daging ayam dari Sulawesi yang menyebabkan disparitas harga sangat ekstrem di pasar. Lagi-lagi hukum ekonomi menjadi alasan dimana permintaan tinggi, maka barang akan datang dengan sendirinya.

Untuk memperbaiki kondisi peternakan ayam potong dan menyelamatkan usaha peternak maka kami menawarkan alternatif solusi. Peternakan ayam potong merupakan usaha komersil yang memerlukan dukungan permodalan yang kuat dan konsisten. Mekanisme tata niaga daging ayam semestinya ditentukan oleh peternak dan pengusaha ayam potong, tidak ditentukan oleh segelintir pedagang yang tidak mau tahu kelangsungan hidup peternak. 

Pola budidaya perunggasan utamanya ayam potong di hampir sebagian besar daerah di Indonesia menganut pola kemitraan. Pola kemitraan sampai hari ini dianggap sangat efektif untuk menunjang usaha peternak dalam pemenuhan sapronak dan pemasaran hasil. Kabupaten Nunukan sudah seharusnya menjalankan pola kemitraan mengingat potensi permintaan pasar dan kapasitas kandang yang dimilkinnya. Pola kemitraan sangat membantu usaha ayam potong dimana pihak inti menyediakan sapronak dan pihak peternak sebagai mitra menyiapkan kandang dan pekerja.

Inti yang baik adalah inti yang mampu menyediakan secara penuh kebutuhan sapronak peternak pada saat “chick in” dengan pola pinjaman. Hal terpenting dalam usaha peternakan adalah pemasaran. Pada waktunya peternak panen, pihak inti mengambil semua ayam peternak dan  peternak tinggal berhitung berapa selisih pengambilan sapronak dengan perhitungan harga jual bobot ayam yang di panen yang hidup. Pihak inti nantinya tinggal mengatur mekanisme penjualan di pasar.

Bila kemitraan ini bisa berjalan maka kita kembalikan posisi masing-masing pihak pada tempatnya yaitu peternak hanya beternak dan mengurusi kandang tidak lagi ada peternak yang merangkap penjual karena bila peternak masih merangkap penjual di pasar maka tetap akan terjadi banting-bantingan harga di pasar. Bila pola kemitraan dapat berjalan baik maka mekanisme harga pasar dapat dikendalikan dan tidak akan ada lagi serbuan produk-produk dari luar karena pihak inti memiliki strategi dalam mengendalikan persaingan dengan produk dari luar.

Sudah saatnya kita mencoba.


*) Kasi Keswan dan Kesmavet Dispertanak Nunukan
     Praktisi Peternakan


PELUANG USAHA AYAM BROILER DI KABUPATEN NUNUKAN




 


PELUANG USAHA AYAM BROILER DI KABUPATEN NUNUKAN

Drh.Muh. Rais Kahar *)


Usaha perunggasan khususnya ayam broiler (ayam potong) di Kabupaten Nunukan hingga saat ini masih sangat menjanjikan. Keberadaan kandang ayam yang secara keseluruhan mampu menampung sekitar 87.800 ekor ayam merupakan modal utama untuk budidaya. Daya serap pasar di Kota Nunukan untuk hari-hari biasa yang mencapai 94.500 kg atau setara 47.250 ekor dengan asumsi bobot panen 2,5 kg/ekor merupakan peluang usaha yang sangat menjanjikan bagi pemilik modal.

         Menurut perhitungan, seekor ayam potong yang di panen dengan bobot 2,5 kg/ekor dengan asumsi waktu pemeliharaan sekitar 35 hari, menggunakan pakan jenis starter hingga panen seharga Rp. 6.800,-/kg, harga DOC (day old chick) Rp. 7.250,-/ekor dan tingkat kematian yang mencapai 4% maka BEP (break even point) per ekor ayam pada harga Rp. 36.873,-/ekor. Harga jual ayam hidup ke pedagang di kandang saat ini mencapai Rp. 22.000,-/kg artinya peternak menikmati keuntungan sebesar 19,33% perekor untuk setiap periode pemeliharaan.  Kemudian pedagang melepas ke pasar dengan harga sekitar Rp. 25.000,-/kg, pedagang meraup keuntungan sekitar 6,82%.

        Kondisi diatas merupakan ukuran ambang batas atas harga sapronak, artinya kemungkinan margin peternak masih bisa dinaikkan. Mengapa demikian? Hal ini karena peternak masih membeli sarana produksi peternakan (sapronak) seperti pakan, obat-obatan dsb dari pedagang sapronak secara eceran, menjualnya pun masih bersifat eceran ke pedagang sehingga manajemen budidaya hingga pemasaran masih bersifat tradisional.

       Melihat perhitungan diatas, menurut kami semestinya pihak perbankan sudah bisa melirik prospek tersebut. Tapi kenyataan yang ada, usaha peternakan ayam potong masih dianggap “high risk” karena menyangkut barang hidup. Selain dianggap “barang hidup”, ayam potong di Kota Nunukan juga mengalami pasang surut usaha. Hal ini karena peternak masih berjalan sendiri-sendiri.

          Seandainya peternak ayam potong di Kabupaten Nunukan mau bersatu dalam satu wadah yang kuat dengan mengesampingkan egoisme masing-masing, maka ada keyakinan bahwa perbankan siap membantu usaha peternak disamping itu diperlukan “induk semang” bagi para peternak sehingga usaha budidaya sampai pemasaran hasil panen peternak dapat berhasil.


*) Kasi Keswan dan Kesmavet Dispertanak Nunukan
     Praktisi Peternakan